16Mar

Tiga Catatan Penting Stadium General Fakultas Ushuluddin UIN Mataram bersama TGB

By samal4s -March 16, 2021

Oleh: Dr. Abdul Fatah, M.Fil.I
:~ Akademisi UIN Mataram

Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama (FUSA) UIN Mataram menggelar Kuliah Umum (Studium General) dengan audience yang lebih variatif. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Senin, 15 Maret 2021 M, bertepatan dengan 1 Sya’ban 1442 H. Terselenggara secara daring dan offline bersama perwakilan dosen dan pimpinan fakultas, bertempat di hall fakultas.

Audience yang terdata via zoom sejumlah 501 orang, dan 2009 orang yang mengikuti via Facebook. Ada unsur dosen, mahasiswa, tendik, perwakilan ormas, juga tenaga peneliti/dosen dari Melbourne dan McGill University Canada. Tema kuliah umum kali ini adalah “Arah Baru Penafsiran Ayat-ayat Siyasah dalam Dinamika Sosial di Era Masyarakat 5.0”. Dalam acara ini menghadirkan Narasumber yakni Syeikh Dr. TGB. KH. M. Zainul Majdi, MA (Mantan Gubernur NTB 2 Periode dan Doktor bidang Ilmu Tafsir dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir). Hadir sebagai keynote speaker Rektor UIN Mataram, Prof. Dr. H. Mutawali, M.Ag.

Dalam konteks personal, Syeikh TGB tidak kurang 5 (lima) kali sudah mengisi kegiatan ilmiah terutama dalam bentuk Kuliah Umum di UIN Mataram. Pada tahun 2009, beliau menghadiri sekaligus memberikan arahan akademik dalam kegiatan Fakultas Tarbiyah (saat masih bernama IAIN Mataram) yang digelar di Aula Kampus 1. Berikutnya, pada tahun 2011, beliau menjadi Narsumber tunggal dalam Kuliah Umum yang diadakan oleh Pascasarjana yang diselenggarakan di depan Mushalla (hall) Kampus 1 IAIN Mataram dengan fokus pada perbandingan metode pendekatan Studi Islam, antara Timur Tengah dan Barat.

2 tahun setelah itu (tahun 2013), beliau menjadi Narasumber Studium General kembali, bertempat di hall Fakultas Tarbiyah kampus 2 dengan tema “Signifikansi Pendidikan Islam dalam membentuk manusia yang berakhlakul karimah dan terampil (skillful)”, yang dihadiri oleh para mahasiswa program Dual Mode System serta Kualifikasi PAI (rata-rata telah berstatus guru madrasah).

3 tahun berikutnya (tepatnya penghujung tahun 2016), beliau kembali menjadi salah satu Narasumber Konferensi Internasional tentang “Al-Qur’an, Perguruan Tinggi, dan Peradaban Islam” yang diselenggarakan Qur’anic Centre IAIN Mataram, bertempat di Ballroom Hotel Lombok Raya. Narasumber lain mendampingi beliau saat itu, Dr. KH. M. Zaidi Abdad, MA., (Kakanwil Kemenag NTB), Dr. KH. Mustain Syafi’i (Pengasuh Ponpes Tebu Ireng Jombang Jatim), Prof. Dr. Harapandi Dahri (Brunei Darussalam), Alm. Syeikh Ali Jaber, dan Prof. Dr. KH. Agil Hussein Munawar, Lc.MA (Menteri Agama era Presiden Megawati Soekarno Putri). Empat (4) kesempatan itu pada saat masih menjadi IAIN Mataram. Setelah bertransformasi menjadi UIN Mataram, kali ini untuk pertama kalinya beliau menjadi Narasumber kembali, Alhamdulillah, di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama (FUSA) UIN Mataram.

Ada 3 catatan penting dari apa yang telah beliau sampaikan.
Pertama: Hakikat masyarakat 5.0. Apa karakter dasarnya?
Masyarakat 5.0 adalah suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based) yang awalnya dikembangkan oleh Jepang. Konsep ini lahir sebagai pengembangan dari revolusi industri 4.0 yang dinilai berpotensi mendegradasi peran manusia. Melalui masyarakat 5.0, kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan mentransformasi big data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan (the Internet of Things) menjadi suatu “kearifan baru”, yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan.

Dalam hal ini Syeikh TGB, merinci bahwa kata kunci dari dinamika masyarakat 5.0 ini adalah literasi, inovasi, butuh inklusi (keterbukaan akses), serta tentu kolaborasi. Zaman ini menghendaki semua orang dapat bekerjasama, agar kesuksesan dapat diraih. Sehebat apapun seseorang, jika dia menyendiri, maka tentu dia akan tergilas oleh zaman, termasuk oleh keterasingannya. Maka para mahasiswa diharapkan memahami tanda-tanda zaman ini serta berupaya menyesuaikan diri agar menjadi pribadi cerdas. Terlebih zaman ini “dihajar” kembali oleh pandemi covid-19 yang telah merubah banyak aspek sosial kemasyarakatan.

Kedua: Terkait realitas eksistensi “ayat-ayat siyasah” di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Pertanyaan substantifnya, “kenapa Al-Qur’an tidak secara tegas berbicara siyasah”? Bahkan hampir dapat dipastikan, tidak ada satupun ayat Qur’an yang menyebut “kata siyasah”. Yang ada adalah hadits Nabi SAW yang mengaskan bahwa “Bani Israil itu dipimpin sekaligus oleh para Nabi mereka” (كان بنو اسراءيل تسوس انبياءهم).

Yang ada dinarasikan Qur’an hanyalah prinsip-prinsip yang menjadi dasar sebuah penyelenggaraan sistem pemerintahan, seperti (1) penyaluran amanah, dan (2) penegakan hukum secara adil kepada siapapun yang merupakan kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya. Sedang kewajiban rakyat (setelah mendapatkan kedua aspek tersebut), untuk taat kepada pemimpinnya. Prinsip-prinsip ini terpatri dalam QS. Al-Nisa’ ayat 58-59 serta QS. Al-Nahl ayat 90. Karena itu, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa “persoalan imamah dan siyasah, bukan termasuk dari persoalan pokok agama, namun menjadi bagian yang ijtihadiyyah-fiqhiyyah”. Karena itulah Al-Qur’an tidak mendetailkannya.

Persoalan politik kotaknya adalah “mu’amalah” yang bersifat “tawfiqiy-ijtihadiy”, dan bukan termasuk “ibadah mahdlah yang bersifat tawqify”. Itulah sebabnya dalam fakta historis, terdapat beragam praktik politik dan sistem kenegaraan yang diwujudkan pasca wafatnya Nabi SAW, mulai sistem khilafah (paling lama), sistem kerajaan, dan sekarang “nation-states” seperti NKRI. Singkatnya, politik bukanlah yang menjadi standar aqidah seseorang, ia adalah termasuk persoalan “furu’iyyah”, karenanya tidak patut sesama muslim saling menyalahkan, apalagi saling mengkafirkan hanya karena berbeda sistem pemerintahan atau perbedaan partai politik yang dirujuk.

Walaupun faktanya, seperti yang diungkap oleh Al-Syahrastani bahwa persoalan politik lah yang kerap membuat pedang terhunus serta darah menetes, ketimbang persoalan akidah. Yang lebih substantif saat ini adalah mewujudkan “Masyarakat Etis Religius” (امنوا و عملوا الصالحات) dan menjembatani hajat bersama, yakni hidup dalam masyarakat yang majemuk (semacam NKRI) dengan tetap saling mencintai, kompak, rukun, dan damai, serta saling menghormati perbedaan keyakinan.

Ketiga: Dalam Era Masyarakat 5.0, maka arah penafsiran al-Qur’an dapat dilakukan secara integratif multidisipliner, termasuk pendekatan kebahasan secara lebih komprehensif. Namun, perlu yang menjadi common platform semua pihak adalah dua hal secara simultan, yakni (1) Fiqhul Maqasid, yakni berupaya menemukan “tujuan pensyariatan hakiki dari ayat al-Qur’an” yang dikaji. Hal ini menjadi penting agar dapat ditemukan konteks dari sebuah teks, serta (2) Fiqhul Ma’alah atau berupaya menganalisis “dampak dari penerapan upaya pemaknaan hukum sebuah teks”. Hal ini harus berjalan beriringan dengan “maqasid”, sehingga Al-Qur’an benar-benar dirasakan sebagai Kitab Suci yang “sholihun likulli zaman wa makan” (relevan untuk setiap waktu dan tempat).
والله اعلم بالصواب…

Tinggalkan Komentar