30Mar

Nahdlatul Wathan di Persimpangan Jalan


Muhammad Haramain

“Ternyata, peristiwa penandatanganan dokumen kesepahaman antara TGB dan RTGB, bukan dimaknai sebagai babak baru yang penting dalam sejarah NW. Malah menjadi bahan untuk men-deskredit satu pihak dan sebaliknya. Ada NW 1953 dan NWDI 2021. Hanya NW sebenarnya organisasi, NWDI itu cuma madrasah, dan lainnya. Ya Tuhan, dangkal sekali.”

Padahal pada dokumentasi peristiwa kesepahaman itu, kita menyaksikan kerendahan hati dan keteladanan yang ditunjukkan oleh para _zurriyat_ al-Magfurlah. Pilihan memecah organisasi ini jadi dua jelas tidaklah mudah. Di pundak mereka dibebankan amanah perjuangan  dari Almagfurlah, yang selalu mengedepankan komitmen perjuangan dalam kebersamaan. Baik RTGB dan TGB, menepikan semua ego, demi kemaslahatan para jamaah di grass root yang kerap bersilang pendapat. Lalu, di level jamaah hingga tokoh, mengapa masih ada saja yang gemar menebar narasi perpecahan dan kebencian?

Mencermati lini masa medsos maupun grup-grup chat, betapa bising cuitan-cuitan tentang resolusi konflik NW ini. Tak terhitung, betapa sering kita dapati komentar yang tidak bermutu serta ungkapan emosional yang mengganggu.

Kontestasi kubu Pancor-Anjani ini dipentaskan mereka, oleh para figuran ini, bak sinetron Indosiar, penuh drama. Saya sengaja menyebut figuran, karena dalam sinema, figuran itu tugasnya melengkapi skenario jalannya cerita. Tapi dalam konteks konflik ini, saya menilai para figuran ini terlalu “memaksakan” improvisasi dan bersikap seakan aktor utama.

Dalam teori dramaturgi, mereka ini hanya show off, seakan paling NW, paling mengikuti al-Magfurlah, paling benar, dll. Perilaku mereka seperti model hit & run, kata seorang teman, beraninya komen pedas dan nyinyir, _abis itu kabur gak jelas._ Mau ishlah, tapi senang berantem. Mau didengarkan, tapi tak bersedia mendengar. Hampir tiada dialog, yang ada hanyalah transaksi bullying dan cacian. Miris.

Jamaah NW sedang mengalami krisis identitas. Idealnya, inilah momentum untuk mengarusutamakan kembali spirit madrasah NWDI yang pada entitas kekiniannya sudah terdegradasi oleh perilaku sebagian jamaahnya sendiri. Mereka kehilangan arah memahami narasi besar al-Magfurlah sebagai pendiri yang santun, pemersatu dan visioner. Keberkahan itu terletak pada kesediaan untuk ikhlas berjuang. Hingga pada medium apapun, _at all cost._ NWDI jangan dipahami hanya sekedar organisasi atau madrasah. NWDI itu ideologi, _way of life_ dan _basic value_ perjuangan kebangsaan religius.

Maha guru kita, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid telah menjadi pahlawan nasional Indonesia. Semangat dan visi kebangsaan religiusnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan ratusan madrasah-masjid sejak era kolonial. Madrasah NWDI tahun 1937 adalah tonggak sejarah bahwa kemerdekaan itu harus diawali dengan pergerakan melawan kebodohan, keterbelakangan, demoralisasi hingga krisis identitas-mentalitas anak bangsa.

Disini letak masalahnya, semua orang mengaku bersemangat untuk ishlah, tapi masih ada saja yang memiliki mentalitas _ana khayrun minhu, ana awla minhu, minna minhum,_ dan sebagainya. Sungguh tak elok, sangat primordial-feodalistik. Identitas kita sebagai pengemban _legacy_ perjuangan al-Magfurlah menjadi ambyar. Tidak sedikit para abituren (alumni) yang bahkan menutup diri untuk mengaku, bahwa mereka pernah menuntut ilmu di lembaga pendidikan NW. Kebanggaan pada almamater, _taokku ngaji belajar,_ hampir teralienasi dari memori. Karena kita sangat sibuk menghabiskan energi, berkelahi tiada henti.

Pasca ishlah 23 Maret 2021, Nahdlatul Wathan berada di persimpangan jalan. Ada yang bernama NW dan NWDI. Berbeda _aren_ (wadah), tapi masih bisa _begibung_ (makan bersama). Tetap bersama dalam arah pejuangan yang sama. Selangkah seayun, melanjutkan legacy perjuangan al-Magfurlah.

Saat ini, mari melawan setiap hoax dan narasi kebencian. Melawan persekusi dengan arif dan damai. _Common enemy_ (musuh bersama) kita adalah para produsen fitnah, para pengadu domba dan sejenisnya. Mari memenuhi ruang ishlah ini dengan bekerja dan berdedikasi di setiap lini perjuangan. Jangan menghabiskan energi untuk _“menari di gendang orang lain”._ Irama sumbang para figuran yang tidak ingin kita maju bersama.

Terakhir, izinkan saya mengutip petikan syair Imam Syafi’i yang sering dibaca sebelum membaca Wasiat Renungan Masa;

جَزَى اللهُ الشَّدَائِدَ كُلَّ خَيْرٍ … عرفت بها عدوي من صديقي.

“Allah akan membalas setiap kesusahan dengan segala kebaikan,, Dengan itu, aku pun menjadi tahu, siapa musuhku dari temanku.”

Parepare, 29 Maret 2021.

Tinggalkan Komentar