03Apr

MARI BERGURU (AGAMA) PADA AHLINYA!

Oleh: Abah_Rosela_Naelal_Wafa

“Berislam tidak cukup dengan semangat. Apalagi semangat ditambah dengan ‘aljahlu wal jahalah’ akan membawa kepada kehancuran Islam.” Kata syekhona TGB Ketua Dewan Tanfiziyah PB NWDI di Islamic Center, jumat 2 April 2021 M.

Pasalnya –menurut TGB–, berislam dengan semangat, tapi tidak ada kecukupan ilmu, pasti membawa kehancuran. Terlebih lagi, ada semangat beragama, namun ilmu tidak cukup, ditambah “karahiyah” (kebencian), pasti di mana-mana akan membawa kerusakan.

“Semangat berislam, tapi ilmu kurang, bahkan tidak ada, lalu ditambah hati penuh kebencian, maka ‘innalillah’.” Katanya.

Bagi saya, apa yang disampaikan ulama tafsir asal NTB itu di depan jamaahnya, sangat konteks dan mengena dengan situasi nasional yang sedang aktif memberitakan tentang pengeboman di Makassar lima hari yang lalu dan adu-tembak antara “teroris” dengan Polisi di Mabes Polri dua hari sebelumnya.

Dan nyatanya, syekhona TGB mengajak kita merenungkan dua rangkaian pristiwa akhir-akhir ini, supaya kita peduli dengan sumber ilmu, memilih guru dan belajar agama pada ahlinya.

Kalau dalam bahasa Maulana Syaikh –kutip TGB–, “Rajin berguru pada ahlinya.” (Sumber: Al-Ad’iyyah an-Nahdliyyah).

Kalam Maulana Syaikh tersebut juga sejalan dengan pernyataan Imam Ibnu Sirin,

إن هذا العلم دين فانظرون عمن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya ilmu adalah agama. Maka, perhatikan dari siapa engkau mengambil agama kalian.”

Ulama cucu Pahlawan Nasional asal NTB ini menjelaskan maksud Ibnu Sirin yang mengatakan bahwa “Ilmu adalah agama” dengan makna, ilmu yang kita pelajari itu sebagai cara kita beragama. Maka, cermatilah, pilihlah dan pastikan dengan baik, kepada siapa engkau mengambil agamamu!.

“Beragama hari ini, adalah siapa gurumu”. Itulah kalimat yang selalu didengung-dengungkan syekhona TGB Dr. KH. Muhammad Zainul Majdi, Lc., MA.

Dengan demikian, syekhona TGB mengkritisi sebagian banyak orang yang dengan mudah dan sedikit-sedikit mengatakan قال رسول الله . Mengapa dikritisi atau duluruskan oleh beliau?

Kata syekhona TGB alasannya minimal dua hal; Pertama, penukil hadis harus bisa bertanggungjawab atau memastikan bahwa tidak ada hadis lain selain yang dinukilnya. Kedua, penukil hadis harus memastikan bahwa hadis yang dikutipnya adalah yang paling kuat, dari sekian banyak hadis lain yang membahas bahasan yang sama.

Sebab –lanjut TGB–, kalau sembarang mengutip hadis atau sedikit-sedikitقال رسول الله, bisa salah pemahaman dan keliru arah. Bisa jadi, sementara hadis yang “diistinbat”, masih banyak hadis lain yang membahas masalah itu. Dan ingat pula, bisa jadi satu hadis yang diucapkan Nabi, tapi masih ada hadis lain yang disampaikan setelahnya, yang hukumnya menghapus hadis sebelumnya.

Kemungkinan lain juga, bisa jadi hadis yang disebut Nabi saw. itu sifatnya umum, lalu datang hadis lain yang disebut berikutnya, yang mengkhususkan dan membatasi. Dan kita yang awam tidak ahli menyeleksi sekian banyak hadis Rasul saw. Semua ini hanya bisa dikerjakan para ulama.

“Jadi, tidak bisa begitu mata kita kena satu hadis lalu berkata, ‘wah ini ajaran Rasul’, belum tentu. Hati-hati!” Kata syekhona al-Hafidz.

Dalam kesempatan tersebut, syekhona TGB menegaskan dan menyeru kembali kepada anak-anak muda sekarang, yang sedang semangat-semangatnya belajar ilmu agama, untuk menimbanya kepada ulama yang ahli padanya.

Beruntungnya, para ulama terdahulu memberikan kita sari pati dari sekian bahasan yang panjang lebar, rumit dan butuh spesialisasi untuk memahaminya. Syukurnya pula, kita disuguhkan perasan hukum yang sudah matang. Untuk itu jangan mengatakan; “masalah ini tidak ada dalilnya, atau ini sekedar kata ulama…”

“Pak, ulama mengeluarkan pandangan masalah ini, setelah mengkaji semua hadis dan ayat yang terkait, serta seluruh pandangan ulama, sampai bisa melahirkan satu produk hukum.” Tegas Ketua OIAA cabang Indonesia itu.

Sebagai penutup bahasannya, cucu al-Magfurulah Maulana Syaikh itu menganalogikan akan pentingnya berguru pada yang ahli dan mengambil hukum dari mereka, seperti orang yang memetik buah. Sering kali kita yang memetik buah. Semula menyangkanya matang, setelah dipetik ternyata mentah.

Tidak jarang pula, kita memilih buah yang disangka matang sebab warnanya merah dan menggoda, ternyata matang hasil karbitan. Sementara, kalau ahlinya yang memetik atau memilih lalu kita dibuatkan –misalnya– juz, itu pasti yang terbaik.

Makanya, “Ikuti pandangan ulama yang ‘muktabar’ (terpandang, terhormat atau mulia)”. Pesan syekhona Tuan Guru Bajang al-Hafidz.

Wa Allah A’lam!

PP Selaparang, 3 April 2021 M.

Tinggalkan Komentar