Tokoh-tokoh agama kenamaan di Indonesia bisa dipastikan pernah mengenyam pendidikan pesantren pada masa mudanya. Quraish Shihab, sebagai mufasir dan tokoh agama senior, adalah salah satu contoh dari sekian banyak tokoh-tokoh jebolan pesantren. Beliau sebelum kuliah di Mesir pernah aktif mengaji di Darul Hadis al-Faqihiyyah selama beberapa tahun. Bahkan tokoh-tokoh Islam berpikiran liberal-progresif sendiri, semisal Ulil Abshar-Abdalla, juga pernah nyantri di pesantren NU sebelum pergi ke Barat untuk melanjutkan studi.
Di daerah terpencil seperti Lombok, tokoh agama yang paling terkenal di sana saat ini adalah Tuan Guru Bajang (TGB). Siapa sangka tokoh agama sekaligus gubernur NTB (2008-2018) itu juga dulu pernah nyantri di pesantren Nahdlatul Wathan sebelum melanjutkan kuliah di al-Azhar, Mesir. Dan lain-lain tokoh-tokoh agama di Indonesia, dari timur sampai barat, sebagian besarnya (kalau tidak seluruhnya) pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang umum di Indonesia sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum Indonesia merdeka. Lembaga ini terbukti menghasilkan tokoh-tokoh muslim yang sangat bersemangat dalam menyebarkan ilmu agama sekaligus nasionalisme. Sebagai contoh adalah pendiri ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh KH. Hasyim Asyari, dan juga pendiri ormas terbesar di pulau Lombok, Nahdlatul Wathan, TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid. Keduanya sama-sama berperan besar dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Setelah kemerdekaan pun jebolan-jebolan pesantren menjadi tokoh-tokoh Islam moderat dan terkemuka di Indonesia. Gus Dur adalah contoh yang harus kita sebut di sini. Beliau adalah santri yang bukan hanya menghargai tradisi, tapi juga menyerap modernitas. Dalam hal moderasi Islam, Gus Dur mencerminkannya dalam toleransinya beragama dan pemikiran-pemikiran berorientasi damai.
Cucu KH Hasyim Asyari ini juga pernah menjadi presiden RI ke-4 dan bertugas menjalankan tugas awal reformasi, yang hal ini menunjukkan bahwa santri tidaklah harus berada dalam langgar saja, tapi juga duduk di kursi presiden atau jabatan-jabatan pemerintahan lainnya. TGB juga, yang merupakan cucu TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid itu, mencontohkan bahwa santri bisa duduk dalam kursi pemerintahan, dalam hal ini gubernur NTB.
Di luar jabatan pemerintahan, Gus Dur dan TGB (sebagai contoh saja, walaupun berbeda generasi) adalah tokoh-tokoh Islam yang moderat, dalam arti memahami dan memahamkan orang bahwa Islam adalah agama toleran dan terbuka. Gus Dur sangat menjaga tradisi NU, tapi tidak menutup diri untuk berpikir lebih bebas mencakup Timur dan Barat. Ini adalah implementasi dari jargon “al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah”.
TGB juga dalam ceramah-ceramahnya sangat menekankan toleransi dan moderasi. Bahkan pada akhir 2019 lalu ia mendapat penghargaan langsung dari Grand Imam al-Azhar, Ahmad al-Thayyib, karena telah mempromosikan moderasi Islam (wasathiyyah al-Islam) di Indonesia.
Pada awal 2020 lalu, Quraish Shihab juga diberi penghargaan Bintang Tanda Kehormatan oleh pemerintah Mesir pada pembukaan Konferensi Internasional di al-Azhar. Penghargaan ini dianugerahkan karena beliau adalah salah satu tokoh dunia yang telah mengenalkan pembaruan pemikiran Islam dan menyebarkan moderasi Islam di negaranya.
Tokoh-tokoh yang tersebut di atas, bersama tokoh-tokoh moderat lainnya yang dari NU, Muhammadiyah, NW, dan ormas-ormas lainnya, mereka adalah bukti bahwa pesantren adalah wadah atau pabrik bagi terciptanya kader-kader yang berpikiran terbuka dan menghargai perbedaan. Mereka menjadi teladan bagi masyarakat dalam mengamalkan Islam dalam segala lininya. Dalam etika, mereka mencontohkan hidup sederhana. Dalam dakwah, mereka mencontohkan keteguhan dan keistikamahan.
Namun kalau kita melihat Indonesia secara umum saat ini, terdapat di antara mereka orang-orang yang mengikuti paham-paham keislaman yang tidak moderat. Walaupun mereka dalam hitungan general masih sedikit, tapi pergerakan mereka terus bertambah bahkan secara eksponensial. Paham-paham yang tidak moderat yang dimaksud adalah, salah satunya, kelompok Salafi-Wahabi yang seringkali mengafirkan dan membidahkan banyak hal. Mereka juga seringkali tidak ingin berbeda dengan kelompok lain yang bukan kelompoknya.
Dari kelompok Salafi-Wahabi ini muncul ustaz-ustaz kondang yang sering menyerukan istilah “hijrah”. Walaupun istilah ini baik, tapi dalam kenyataannya, di balik kata itu tersimpan ajaran-ajaran yang tidak jarang membuat Islam terkesan sangat sempit. Banyak dari mereka yang menafsirkan Alquran dan Hadis dengan tekstual dan, mohon maaf, dangkal.
‘Ala kulli hal, berpikir terbuka dan toleran yang diajarkan tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia adalah hal yang sangat diperlukan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Satu kaidah bahasa Arab yang perlu dicamkan dalam diri tiap individu masyarakat dalam berislam adalah: nata’awan fima ittafaqna, wa natasamah fima ikhtalafna (kita saling tolong-menolong dalam hal yang kita sepakati, dan kita saling bertenggang rasa dalam hal yang kita selisihi). Wallahu a’la wa a’lam.
Artikel ini ditulis oleh Badrul Jihad dan telah diterbitkan pertama kali oleh Syekh Zainuddin Institute