27Jun

TINTA PENA JADI KARTU NAMA

Oleh: Abah Rosela Naelal Wafa

Ada pepatah mengatakan, “Apalah arti sebuah nama”. Yang ternyata pepatah ini diambil dari cuplikan dialog dalam novel romantis Romeo dan Juliet karya Williyam Shakespeare.

Dalam dialog tersebut Juliet mengatakan “nama” tidak akan mengubah siapa dia, “apalah arti sebuah nama” apabila “nama” itu menimbulkan perselisihan. Williyam mencontohkan, buat apa mempermasalahkan nama bunga mawar, toh ia akan tetap wangi.

Namun sebaliknya, justru bagi umat Islam, nama dinilainya sebagai doa. Memberi nama anak sama artinya mendoakan anak. Karena itu Nabi SAW. mensunahkan untuk memberi nama yang baik. Pasalnya di akhirat, orang akan dipanggil sesuai namanya di dunia.

Dalam praktiknya, Rasulullah SAW. pun telah banyak merubah nama beberapa sahabatnya yang memiliki nama bermakna jelek.

Contohnya, ada sahabat yang semula namanya “‘Ashi” yang artinya “Pendosa” dirubah menjadi Abdullah. Ada juga sahabat di masa Jahiliyah bernama “Abdus Syam” (Hamba Matahari) dirubah juga menjadi “Abdullah”. Abdurrahman bin Auf juga semula bernama “Abdul Ka’bah” yang berarti “Hamba Ka’bah”. Ada pula sahabat bernama “Zahm” (Repot) diganti menjadi “Basyir”.

Dan masih banyak lagi lainnya. Nah, itulah di antara contoh nama seseorang yang diberikan orang tuanya sejak baru lahir (hari ke-7) hingga kemudian menjadi panggilan sepanjang hidupnya.

Bagi yang memiliki nama yang berkonotasi jelek, maka –di zaman Rasul– diganti oleh Nabi saw. Ini pun menjadi isyarat akan bolehnya kita mengganti nama. Asalkan menjadi nama yang lebih baik.

Pentingnya sebuah nama semakin kita rasakan dalam pergaulan kita dalam dunia nyata dengan sesama manusia. Baik dalam skala Daerah maupun luar Daerah.

Bahkan hingga ke luar Negeri. Pada skala Nasional nama kita, kita cipta dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Kalau keluar Negeri ada kita kenal dengan istilah “Paspor”. Dua kartu nama ini sangat penting dan sangat vital sekali dalam menjalin hubungan dengan pihak lain.

Tanpa KTP, pasti kita tidak berhak memperoleh “Hak Suara” pada setiap kali Pemilihan Umum dari semua jenjang. Dan tanpa Paspor, kita juga akan terjegal, tidak boleh memasuki negara orang.

Namun kartu nama semacam ini ada batasnya. Sebatas hayat sang pemilik. Tertanamnya jasad sang empu, tertanam pula itu kartu. Kartu seperti ini hanya menemani selama hidup di dunia, namun tak menjadi penolong di alam sana. Ia bermakna dan berarti, tapi sampai pemiliknya mati. Setelah itu, selesai!.

Berbeda halnya dengan kartu nama yang terbuat dari karya tulis. Ia abadi dan bertahan lama, selama dunia masih ada. Dan selain itu, pahala dari manfaatnya mengalir sampai ke alam baqa’. Sehingga inilah yang memotivasi para ulama untuk menulis.

Dalam sejarah, para tokoh-tokoh Islam sejak masa lampau hingga masa kini juga banyak memberi kita contoh betapa mereka memiliki nama dalam bentuk kartu.

Maksudnya, kartu berupa karya tulisnya dalam bentuk buku. Di kalangan para ulama, mereka memiliki kartu nama berupa kitab karyanya sendiri.

Sebagai bukti. Kita mengenal Imam asy-Syafii, di antara karya beliau yang sangat banyak itu kita mengenal kitab al-Um. Kalau ada orang menyebut al-Um maka kita langsung mafhum bahwa yang dimaksud adalah karya pendiri mazhab Syafii itu.

Antara pemilik dengan karyanya telah menyatu. Seakan itu menjadi kartu nama baginya. Demikian pula, saat kita menyebut kitab “Riyad ash-Shalihin” kebayang langsung Imam an-Nawai. Kitab “Ihya’ ‘Ulum ad-Din” dengannya kita langsung mengingat Hujjahtul Islam Imam al-Ghazali.

Tafsir Jalalain juga menjadi kartu nama yang ampuh bagi kedua Imam pengarangnya, yakni Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Tak terkecuali misalnya, semua Imam penulis “Kutub as-Sittah” (enam kitab) di bidang hadis.

Semua kitab itu masing-masing menjadi kartu nama paling melekat hebat dan kuat. Hanya menyebut nama kitabnya, langsung terinstal nama pengarangnya. Suhanallah!

Itulah deretan para Imam yang mencipta kartu nama melalui karya tulisnya. Selain mereka, para tokoh Islam Nusantara juga berkarya demikian.

Tafsir al-Azhar melekat kuat pada sosok penulisnya Prof. Buya HAMKA.

Tafsir al-Mishbah melekat pula untuk Prof. Dr. Quraish Shihab.

Masing-masing tafsir itu menjadi kartu nama yang sangat jelas bagi kedua tokoh itu. Adapun generasi jauh setelah beliau berdua, lahir para penulis muda dan berbakat, masing-masing mereka juga berhasil mencipta kartu nama dengan karyanya.

Misalkan, Bang Ippo Santosa booming dengan buku tulisnya, “7 Keajaiban Rezeki” yang dengannya ia membuat kartu nama.

“Andrea Hirata” juga tak kalah berjaya dengan novel terlarisnya bernam “Laskar Pelangi”. Novel yang telah berhasil “membius” jutaan pembaca di puluhan negara.

Novel yang telah diterjemahkan sampai 34 bahasa asing. Dengan kartu nama seperti itulah dunia mengenalnya. Sekarang kita. Generasi –yang katanya– pencinta. Pencinta mereka yang telah mengukir cerita.

Cerita bahwa mereka telah mencipta kartu nama. Melalui goresan tinta pena yang bertahan lama. Sekarang pilihan ada di pihak kita.

Buat kartu nama ataukah sebaliknya. Pergi jasad tanpa meninggalkan nama.

Wa Allah A’lam!

Bilekere, 27 Juni 2021 M. #KOPI_SMA_JAYA #BERKAH_SELAPARANG

Tinggalkan Komentar