25Jul

HUSNI CHOMSKY (Kehilangan yang Selalu Ada)

Oleh: Salman Faris

Pada akhir tahun 2006, saya mengundang Prof. Soeprapto, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada masa itu untuk memberikan ceramah tentang Sekardiu di Gedung Sangkareang kompleks kegubernuran NTB.

“Boleh, Man. Namun ada syarat yang wajib dipenuhi”.

Respons beliau menyenangkan sekaligus menantang. Sambil tersenyum beliau meneruskan, “Cukup belikan saya tiket, penginapan saya yang bayar, tak perlu bayar honor saya namun you harus dapat mempertemukan saya dengan sahabat saya.” Beliau sempat terdiam sebelum melanjutkan. “Sudah lama saya tidak jumpa.”

Saya menerima permintaan tersebut meskipun belum tahu siapa sahabat yang dimaksudkan. Dan saya belum sempat menanyakan, beliau malah melanjutkan cerita tentang sahabatnya itu.

“Sahabat saya ini orang yang sangat pintar. Genius. Sebagai orang Indonesia, di Amerika dulu, sangat bangga ada orang Indonesia sepintar sahabat saya ini.”

Saya hanya terdiam. Prof. Soeprapto sesaat terhenti. Mungkin sedang terbawa emosi mengingat sahabatnya itu.

“Dia orang Lombok asli, Man. Orang Sasak. Yang tak kalah mengesankan, orang sepintar itu masih rajin sholat di Amerika. Tidak pernah menyakiti orang lain.”

Mengetahui sahabat Prof. Soeprapto orang Sasak, saya semakin tertarik. Dan secara spontan saya tanya nama sahabat beliau.

“Pasti you kenal, Man. Mengajar di Universitas Mataram.”

“Ya, Prof., siapa nama beliau? Saya tidak sabar.

“Husni Chomsky.”

Saya terdiam. Namun tentu saya malu bertanya lebih lanjut. Malu diketahui yang, saya belum pernah dengar nama orang Sasak Husni Chomsky”.

“Sahabat saya itu salah satu murid terbaik Noam Chomsky, Man. Dia hafal luar kepala ilmu Chomsky. Makanya kami panggil Husni Chomsky”.

Meskipun dalam kebingungan, saya tetap setuju dengan permintaan Prof. Soeprapto. Sampai beliau tiba di Lombok, memberikan ceramah, dan berjalan-jalan mencari objek foto yang bagus, saya belum dapat memenuhi syarat yang diminta. Seperti biasa, Prof. Soeprapto selalu senyum. Beliau memahami saya masih bingung.

Di Pusuk, ketika berhenti untuk mengambil gambar situasi pedagang, beliau kembali menyingung sahabatnya itu.

“Saya dengar Husni Chomsky, sahabat saya itu, keturunan Tuan Guru di Lombok, Man”.

Saya terdiam. Mulai dapat gambaran. Agak terlambat sebab Prof. Soeprapto sudah mau kembali ke Yogyakarta. Di Bandara Selaparang saya sempat meminta maaf.

“Saya tahu Husni Chomsky, Prof. Beliau memang dari keluarga Tuan Guru. Saya memanggilnya Kak Tuan. Kak Tuan Husni Muadz.”

Prof. Soeprapto tersenyum. “Salam saya untuk Husni Chomsky.”

Sebenarnya saya sudah mulai bersentuhan dengan Noam Chomsky sejak masih di Jogja. Namun karena pada waktu itu gerakan postmodernisme sedang seru-serunya, jadi saya tidak begitu mendalami Chomsky. Hanya mendengar namanya disebut dalam beberapa forum diskusi terutama ketika mengangkat isu politik, dominasi Amerika, negara dunia ketiga. Namun sejak perjumpaan dengan Prof. Soeprapto itu, saya benar-benar mulai mencari tahu tentang Chomsky. Terutama karena nama Husni Chomsky.

Kak Tuan Husni sudah dikenal luas sebagai ahli bahasa, pakar linguistik yang sangat mumpuni. Di luar kemampuan orang kebanyakan. Namun kenapa beliau dihubungkaitkan dengan Noam Chomsky? Saya betul-betul ingin tahu. Langkah pertama yang saya lakukan ialah menghubungkan pemikiran Chomsky dengan Kak Tuan Husni. Tentu saja ini tidak sekadar hubungan antara guru dengan murid. Tidak sesederhana hubungan orang yang mempelajari dan menggeluti bidang yang sama. Pasti ada yang lebih dalam, lebih jauh dari itu.

Hikmahnya, saya mulai bersentuhan dengan buku-buku Chomsky. Hampir semua buku tersebut saya koleksi dan baca. Meski banyak yang saya tak fahami kedalamannya, namun terus saya coba baca. Setelah itu, saya melakukan komparasi dengan Kak Tuan Husni. Apa hakikat hubungan kedua orang ini.

Noam Chomsky yang dipanggil sebagai “tokoh intelektual penting abad ini” oleh kalangan ilmuwan dunia termasuk disahihkan oleh New York Times ialah bukan tokoh sembarangan. Kelasnya sudah dunia. Dan jutaan pembaca, pengikut, serta mengagumi pemikirannya. Lalu kenapa Chomsky dihubungkan dengan Kak Tuan Husni?

Kalau sekadar membaca semua buku Chomsky, semua orang boleh lakukan. Menghafal pemikiran Chomsky juga bukan hal yang tidak mungkin. Lalu apa istimewanya Kak Tuan Husni dalam kaitannya dengan Chomsky?

Banyak pertanyaan terus bergelantungan. Sembari terus mempelajari buku Chomsky, saya mengikuti ide, pemikiran, gagasan, tindakan, keperibadian Kak Tuan Husni. Secara perlahan saya mulai menemukan benang merah. Jika Kak Tuan Husni dipanggi Husni Chomsky oleh kawan-kawannya di Amerika, dan oleh semua lingkaran diskusi yang digagasnya juga mengamini itu, ialah sangat dapat diterima. Kak Tuan Husni menginternalisasi pemikiran Chomsky sekaligus memberikan nilai tambah dengan meletak isu sosial kemasyarakatan setempat secara jitu, relevan, dan kontesktual.

Bagi Chomsky, lingusitik ialah alat bukan telaga. Untuk mendapatkan ikan di telaga tersebut diperlukan alat, dan alatnya tentu saja bukan telaga. Telaga hanya medan magnet tempat ikan tersebut hidup dan dipersoalkan. Itulah sebabnya Chomsky digelari sebagai salah seorang ilmuwan sosial yang paling berpengaruh di dunia. Linguistik digunakan sebagai alat untuk memecah kebuntuan dunia. Bukan hanya soal-soal bahasa.

Chomsky berdiri di garis  lingusitik yang berperspektif Cartesian yakni, memberikan dukungan secara total kepada hak dasar dan alamiah setiap manusia serta berada di depan untuk melawan segala macam otoritarianisme yang menindas-menyengsarakan manusia.

Kak Tuan Husni menjalankan prinsip Cartesian itu. Menggunakan ilmunya untuk membedah kebuntuan masyarakat agar manusia dapat menemukan ruang paling jannah-jalan mutmainnah di sekitarnya. Teori dan konsep Kak Tuan Husni tentang “intersubyektivitas rekognitif” yaitu bagaimana organisasi manusia di sekitar mereka saling berterima tanpa syarat. Menerima segala perbedaan tanpa mempertentangkannya. Menerima seluruh kesamaan tanpa menimbangnya sebagai syarat.

“Intersubyektivitas rekognitif” ialah salah satu penjelamaan terdalam Kak Tuan Husni tentang bagaimana rindunya kepada kedamaian dunia, kedamaian masyarakat, kebahagiaan manusia tanpa berbelah bagi dalam realitas mereka yang berbeda-beda. Kak Tuan Husni menerima kemajemukan sebagai fitrah yang ia sebut sebagai intersubyektivitas, namun kemajemukan itu direkognisi sebagai filter yang melahirkan hakikat adanya manusia sebagai pengayom dunia untuk kedamaian.

Di sini lain, Chomsky, sang guru besar Kak Tuan Husni, sebagai tokoh ilmuwan dunia yang terdepan menentang segala bentuk kekerasan dunia. Bahkan, meskipun Chomsky berdarah Yahudi, ia amat menentang kesewenang-wenangan Yahudi terhadap Palestina. Chomsky mengatakan adalah tidak masuk di akal ”satu tanah, dua negara”. Dalam buku The Chomsky Reader, secara jelas dan tegas Chomsky menyatakan bahwa masalah utama Israel-Palestina ialah karena satu tanah dua negara. Dengan begitu, potensi besar yang satu sebagai penindas dan satunya tertindas amatlah terbuka. Dalam hal ini, Chomsky terbukti.

Pemikiran tersebut semakin dikuatkan oleh sikap Chomsky yang menolak terlibat dalam perkumpulan yang mendorong terbentuknya negara Israel karena selain kejahatan, hal tersebut juga memberikan dampak kekerasan kemanusiaan yang berkepanjangan. Chomsky menyebutnya sebagai lingkungan yang eksklusif dan rasis.

Tentu saja Kak Tuan Husni di jalur yang sama. Anti rasis dan kekerasan. Ia mengetahui banyak hal tentang kekelaman orang Sasak, dan ia menerima itu sebagai intersubyektivitas. Sesuatu yang terjadi, sudah terjadi, tidak boleh terulang lagi. Maka Kak Tuan Husni berfikir keras untuk dapat menemukan rumusan yang jitu yang, sekurang-kurangnya dapat menjauhi konflik antargolongan.

Kak Tuan Husni sangat mendalami dan memahami betapa sengsaranya kaum petani miskin, kaum pedagang miskin, masyarakat desa tertinggal, kaum marjinal kota dan orang-orang yang diketepikan. Namun kak Tuan Husni tidak ingin mempertentangkan dua kutub kesengsaraan mereka dengan sekelompok elite borjuis secara kasar dan politis, meskipun kedua kutub ini nampak ada yang tertindas dan ada yang menindas. Kak Tuan Husni terus berjuang mencari jalan paling damai. Jalan paling jauh dari kekerasan sosial.

Kak Tuan Husni tidak mau menggerogoti hak keuntungan kaum borjuis karena memang mereka ada tujuan dan usaha serta modal untuk itu. Namun tidak mau juga ada kesengsaraan yang ditimbulkan. Maka Kak Tuan Husni menawarkan kedua kutub ini tidak boleh dipisahkan. Mereka harus diperjumpakan. Mereka harus mengenali satu sama lain sebagai manusia dalam konsep tanpa syarat. Meski ada realitas yang menunjukkan dominasi namun Kak Tuan Husni mencoba menelusuri perspektif baru tentang pemaknaan dominasi agar tidak diterima begitu saja sebagai pembenaran untuk mendominasi. Usaha yang amat susah, namun demi kemanusiaan, Kak Tuan Husni menghabiskan banyak waktu untuk menemukan rumusan.

Kak Tuan Husni yang menyadari situasi sosial orang Sasak yang dihubungkan dengan masa lalu dan keadaan kekinian amat rentan dengan pertikaian dan kekerasan. Dijumpailah satu metode yang seterusnya dirumuskan menjadi satu formulasi teori yang disebut “Sekolah Perjumpaan”.

Dasar pemikirannya sederhana. Perjumpaan. Semua orang, semua golongan, semua kaum memerlukan sebanyak-banyaknya perjumpaan untuk mengkreasikan interaksi secara solid dan dekat. Kak Tuan Husni berkeyakinan yang, perjumpaan ialah pintu masuk untuk mengonstruksi masa depan manusia yang lebih baik. Dalam hal ini, Kak Tuan Husni menolak teori alienasi sosial. Karena dengan alienasi, manusia akan semakin jauh dari perjumpaan. Ketika perjumpaan semakin jauh, peluang kekerasan manusia semakin menganga.

Melalui perjumpaan, masyarakat terhindar dari prasangka yang dibangun oleh opini terbitan media: televisi, koran, cerita, dan media lain yang mempunyai kuasa kuat untuk membangun opini tertentu dan mencitrakan golongan yang satu dengan yang lain sebagai kumpulan berbeda.

Begitu juga Chomsky, meskipun mengetahui betul risiko yang diterima berhadapan dengan Amerika, namun ia memilih langkah itu semata-mata untuk menyadarkan manusia agar terhindar dari sikap brutal. Dengan lantang Chomsky menyuarakan pemahaman yang berbeda tentang bom WTC, misalnya. Melalui pendekatan pemahaman terorisme, Chomsky mencerahkan dunia betapa pemahaman dunia tentang isu ini amat ditentukan oleh media, terutama yang dikontrol Amerika.

Chomsky menyuarakan perspektif yang jauh lebih jujur dan terbuka mengenai terorisme yang, oleh Amerika terus-menerus menyudutkan kelompok Islam sementara tindakan zalim zionisme diterima sebagai pembelaan yang sah.

Di jalur yang sama, Kak Tuan Husni melihat secara tajam perbedaan antara realitas dengan berita yang berseliweran di media. Maka ia menyusun tatanan dunia yang bermazhab perdamaian, kemanfaatan, kemanusiaan dengan tanpa henti, sekali lagi tak pernah berhenti melakukan pembongkaran terhadap realitas sosial yang sebenarnya agar masyarakat menyadari yang, mereka selama ini dikonstruksi oleh media yang, akhirnya terlepas dari realitas yang sebenarnya. Bagi Kak Tuan Husni, alienasi ialah kepalsuan sekaligus sumber kekacauan dunia.

Kak Tuan Husni berkeyakinan apabila masyarakat sudah terlepas dari realitas mereka sendiri, maka segala hal keburukan dapat terjadi. Itulah sebabnya, bagi Kak Tuan Husni, intelektual harus mengambil peran terdepan mengambil tindakan rekonsiliatif-rekontsruktif. Menyadari kerja ini tidak dapat dilakukan sendiri, Kak Tuan Husni mengambil jalan perbincangan dan pembedahan masalah bersama kaum terpelajar yang lain. Tujuannya jelas, membangun organisme intelektual yang mengarusutamakan perdamaian manusia.

Atas semua itu, Kak Tuan Husni sejak awal sudah menyadari risiko, bahkan menerima konsekuensi meskipun belum terjadi. Sebagai orang yang menepi, jauh dari kemegahan pergaulan orang-orang pintar di Indonesia. Risiko tidak diakui secara resmi sebagai orang yang berfikir, sebagai filosof, sebagai scholar ialah jalan pilihan. Namun bergerak dalam perjuangan kemanusiaan tiada habis-habisnya ialah keutamaan.

Hal ini juga selurus dengan Chomsky yang memilih jadi lawan kekuatan jahat yang sentiasa ingin menguasai dunia meski dengan cara paling kejam dan bengis sekalipun. Chomsky mengatakan Henry Norris Russell dan Albert Einstein sama-sama tahu manusia amat terancam di dunia. Namun Einstein memilih jalan hidup enak di Princenton, hanya untuk riset dan sesekali orasi ilmiah di kalangan elite. Sedangkan Russel memilih jalan sebaliknya, melihat manusia yang terancam oleh dunia itu secara langsung. Buah dari kedua pilihan itu, Russel dikelamkan dan taburan bintang pujian untuk Einstein.

Buah dari pilihan itu, Kak Tuan Husni mencapai posisi utama kemanusiaan itu. Ketika amat susah manusia dikenang dalam sisi secara bersamaan: berilmu tinggi dan kepribadian sejati, Kak Tuan Husni mencapai taraf ini. Taraf tertinggi bagi seorang ilmuwan. Ilmu yang dimiliki menjadikan ia sebagai manusia dan sepenuhnya berpihak kepada kemanusiaan. Sebagaimana Chomsky yang menunjukkan sisi kemanusiaan kaum Yahudi yang terkubur oleh konstruksi politik media sebagai kaum bar-bar di alam modern.

Sebagai manusia, kepribadian Kak Tuan Husni susah dicari ganti. Selalu tersenyum. Mendengarkan siapa saja dan apa saja yang disampaikan orang. Diam. Tidak akan pernah bicara sebelum gilirannya. Lidahnya fasih dan bersih. Tak pernah satu kata pun menjatuhkan orang lain. Selalu membenarkan meskipun mungkin ada kekeliruan yang bicara. Meluruskan dengan cara yang sangat manusiawi. Wajahnya tidak pernah memerah karena marah. Menggambarkan betapa tenang dan baik hati yang dikandung badannya. Tidak pernah berkata tidak untuk kebaikan. Selalu mendukung kebaikan dari siapa saja kebaikan itu muncul.

Sebagai orang yang berpihak kepada kemanusiaan, Kak Tuan Husni selalu memilih dan mencari jalan perdamaian. Berdamai tanpa syarat. Hidup berdampingan dalam perbedaan tanpa syarat. Seluruh ilmu, perenungan, dan pengalaman ia curahkan untuk mendapatkan ruang perdamaian manusia.

Husni Chomsky, manusia berilmu tinggi nan luas yang mempraktikkan ilmu menjadi amal kemanusiaan. Meninggalkan karya kemanusiaan yang besar “Sekolah Perjumpaan”.

Tuhan, Allh swt. Memanggil Husni Chomsky ketika ia sedang mengajarkan ilmu besarnya: “Sekolah Perjumpaan”. Tanda takdir yang sangat husnul khotimah.

Ia memang Noam Chomsky dari Indonesia. Dari Lombok.

Malaysia, tengah malam: pertengahan Zulhijjah 1442 H.

Tinggalkan Komentar