26Jul

Mempertanyakan Sanad Keilmuan Google

Dengan masifnya penggunaan internet di era modern, masyarakat dapat dengan mudah mencari segala yang mereka butuhkan hanya melalui ponsel pintar (smartphone) atau PC, termasuk mencari informasi dan ilmu pengetahuan (khususnya yang berkaitan dengan agama). Semuanya telah tersedia di internet dan para pengguna hanya tinggal memilih artikel mana yang akan ia klik, baca, kemudian percayai.

Di sini perlu kita camkan bersama bahwa Google, sebagai penyedia akses terbesar untuk berbagai informasi, hanya bertugas meng-upload belaka, tidak bertanggung jawab lebih jauh untuk mengedit dan memperbaiki. Inilah sebabnya salah satu konsekuensi dari bebas dan masifnya informasi di Google adalah banyaknya informasi-informasi yang bertentangan, bahkan informasi-informasi hoaks.

Dalam kaitannya dengan tulisan-tulisan keagamaan, khususnya Islam, Google menyediakan hidangan prasmanan yang tak terhingga, dari yang berpaham tradisional sampai progresif, dari yang ekstrem-radikal sampai yang liberal. Walaupun dari sisi keterbukaan informasi hal ini bisa dipandang baik, tapi dalam hal kebebasan tanpa batasnya dapat menimbulkan dampak buruk yang cukup menyedihkan.

Semua kelompok Islam mungkin menyertakan sumber nukilan dan referensi dalam menulis artikel, tapi masalahnya adalah kelompok Islam yang  ekstrem-radikal juga menyertakan nukilan dan referensi. Inilah tepatnya sanad Google yang perlu dipertanyakan itu, yakni kebebasan informasi itu sendiri. Sederhananya begini: semua kelompok Islam sama-sama mempromosikan diri dalam Google (dengan tulisan bereferensinya), tapi Google itu sendiri tidak memiliki referensi dalam menyebarkan informasi-informasi ini. Jadi masyarakat yang mengonsumsi ini akan bingung, dan pada akhirnya akan salah paham terhadap Islam.

Masyarakat tidak akan mengetik keyword “ajaran-ajaran Islam yang benar” di Google, karena semua kepompok mengklaim kebenaran masing-masing. Mereka biasanya mengetik tema yang sedang ia butuhkan, semacam “Bagaimana hukum qunut subuh?” “Bagaimana hukum musik?” dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Dan kalau masyarakat akan memilih artikel berpemahaman fundamental, maka mereka selanjutnya akan berpemahaman demikian dalam masalah-masalah lain. 

Dapat dikatakan bahwa ada dua cara masyarakat berpaham fundamental. Pertama, dengan cara berguru langsung dengan para penyeru paham fundamental itu sendiri, dan kedua, dengan cara berguru melalui Google tanpa dasar dan tanpa bimbingan. Kedua cara ini sama-sama membahayakan dan perlu disikapi sebijak mungkin supaya masyarakat tidak salah jalan dalam memahami agamanya.

Di sinilah pentingnya memilih guru, yakni memilih tokoh-tokoh yang bukan hanya berilmu, tapi juga berpikiran terbuka dan toleran. Hal ini bisa didapat dengan berguru langsung ataupun membaca buku atau artikel. Kemudian setelah mendapat guru atau tulisan yang tepat, masyarakat akan mendapat ilmu dan keterbukaan sekaligus dalam permasalahan agama. Dan ini pada akhirnya akan membentuk suatu masyarakat religius sekaligus maju (berbudaya).

Secara teorinya begitu. Adapun secara praktek, ini mungkin akan agak sulit, sebab buktinya, sampai sekarang muslim Indonesia belum bisa dikatakan religius dan maju. Akar permasalahannya adalah pada poin pertama pada paragraf sebelumnya, yakni memilih guru. 

Pada dasarnya antara belajar dari guru khusus atau tulisan sama-sama memiliki potensi buruk dalam mengalihkan masyarakat dari kebenaran agamanya, yaitu dengan cara berguru pada orang yang salah, dan dengan mengonsumsi tulisan-tulisan di Google yang salah pula. 

Nah, oleh karena sama-sama berpotensi buruk, kita terpaksa harus membandingkan antara keduanya. Mana kira-kira yang lebih kecil mudaratnya dalam belajar agama?

Kiranya semua akan setuju bahwa belajar dengan guru langsung akan lebih baik dalam pemahaman agama daripada belajar otodidak dari tulisan-tulisan Google. Ini bukan hanya karena guru dapat menjelaskan apa yang tak dimengerti oleh masyarakat sebagai murid, tapi juga dapat membimbing dengan aktif karena ia ‘guru hidup’. Ia juga lebih baik karena dapat dilihat langsung sikapnya dalam beragama ketika menyampaikan ceramah-ceramah: apakah ilmunya cukup luas?; dan apakah pikirannya cukup inklusif?

Ini berbeda dengan Google yang tidak berfungsi membimbing dengan aktif para pembacanya. Karena pada dasarnya fungsi Google adalah menyediakan informasi, tidak bertugas membenarkan tulisan tertentu, tidak juga menganjurkan tulisan tertentu, kecuali memang tulisan tersebut ber-rating tinggi hingga ia muncul pada halaman pertama saat dicari.

Sampai sini, kita dapat simpulkan bahwa, untuk mencapai predikat religius dan maju dibutuhkan masyarakat yang berpikiran terbuka. Untuk bisa membuat masyarakat berpikir terbuka, mereka harus belajar dari guru atau tulisan-tulisan yang benar. Dan untuk mengetahui mana guru dan tulisan yang benar mereka harus memilih dan memilah. Karena pada dasarnya masyarakat tidak bisa menentukan secara pasti kebenaran, maka mereka harus belajar dari seorang guru yang dapat membimbing secara langsung, dan memang begitulah tugas seorang guru. Sedang tulisan-tulisan di Google adalah informasi pendukung yang juga dapat dikonsumsi untuk menambah wawasan. 

Ini tidak bermaksud untuk merendahkan Google sebagai penyedia informasi. Justru ia adalah “makanan lezat” yang juga perlu dikonsumsi, tapi tentu saja setelah mengonsumsi “makanan pokok” dulu. Dan dalam mengonsumsi makanan-makanan ini, dari manapun sumbernya (ini adalah saran), sebaiknya dikonsumsi dengan rasa ingin tahu yang tinggi namun kritis dalam waktu yang sama. Dengan begini, kita dapat memilah mana pendapat yang kira-kira melenceng karena tidak masuk akal, sehingga kita dapat menghindarinya, dan mana yang mencerminkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga dapat diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel ini ditulis oleh Badrul Jihad dan telah diterbitkan pertama kali oleh Syekh Zainuddin Institute

Tinggalkan Komentar