Oleh: Abah_Rosela_Naelal_Wafa
✍✍✍✍✍
Ramadan adalah momentum berlatih menahan jemari, diri, hati, dan pikiran serta anggota tubuh lainnya dari hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan amal dan ibadah puasa.
Pada kajian tafsir al-Qur’an bakda Jumat (9-4-2021) di Islamic Center Mataram, syekhona Dr. TGB. KH. Muhammad Zainul Majdi mengajak kita untuk fokus beribadah Ramadan, disertai dengan menambah wawasan dan bacaan atau pengetahuan seputar fikih puasa. Bagi yang mempunyai handphone, bisa secara online.
“Jangan telalu banyak waktu untuk membahas hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan amal kita pada bulan puasa. Misalnya, kita adakan kajian, tapi kaitan bahasannya jauh dari amal kita, sayang!”. Demikian pesan syekhona TGB.
Karena itu –lanjutnya–, kalau kita mau mengkaji sesuatu, pastikan bahwa kajian kita يثمر العمل (bisa membuahkan amal). Usahakan, buat kajian yang bisa membuat kita tau apa yang sebelumnya tidak diketahui. Bisa menyempurnakan apa yang semula kurang.
“Amal itu, tidak hanya ada syarat dan rukun-rukunnya saja. Tapi, ada adab dan sunnah-sunnahnya.” Tegas syekhona TGB al-Hafidz.
Adab-adab saat berpuasa, penting kita terapkan, sebab ia konteks dengan suasan sekarang, di mana media sosial sangat memberikan ruang pergaulan dan percakapan tanpa batas. Kalau kita tak punya kesadaran (berlatih) menahan diri pada hal-hal yang tidak penting apalagi sia-sia, maka bisa jadi akan berakhir pada sesuatu yang tak diinginkan.
Mencapai kehendak demikian, maka Ramadan hadir sebagai medium berlatih menahan diri. Pasalnya, arti jenerik (arti paling dasar) dari الصوم atau الصيام ialah الإمساك yang berarti menahan diri. Makna ini, betul-betul relevan degan keadaan kita sekarang.
Untuk di Ramadan kali ini, “Saya mohon, berhentilah kita mengetik hal-hal yang tidak baik. ‘Memporward’ sesuatu yang tidak baik itu sama hukumnya dengan kita membuat sendiri.” Tegas ulama tafsir alumnus al-Azhar Cairo Mesir tersebut.
Mengapa bisa demikian? Sebab, “memporward” atau meneruskan pesan, berita-berita yang tidak penting apalagi tidak baik, atau merugikan diri sendiri dan atau orang lain, menjadikan kita أحد الشريكين artinya ikut berkolaborasi dengan orang yang membuat.
Jadi, “Kalau ada berita bohong jangan kita kirim. Ia bisa membuat hati gundah dan membenci orang lain. Mari kita tahan diri betul-betul.” Ajak TGB al-Masyhur fi Nusantara ini.
Sebagai penegasannya, cucu Pahlawan Nasional asal NTB, Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ini menyampaikan bahwa ada teori dalam ilmu pendidikan. Menurut teori itu, waktu satu bulan adalah masa yang cukup untuk menghilangkan satu kebiasaan lama atau membangun satu kebiasaan baru.
Artinya, kalau –misalnya– selama ini kita susah meninggalkan sesuatu yang “mendarah daging” seperti mengetik atau memporward berita jelek, karena kadung masuk grup Waths App teman, yang sehari-dua hari bisa ditahan, tapi kembali lagi berkali-kali. Nah, medium yang paling efektif mengentasnya ialah Ramadan.
“Kalau kita bisa dalam satu bulan ini dengan keikhlasan dan kesungguhan meninggalkan satu perbuatan tidak baik, maka akan menjadi kebiasaan baru dalam satu bulan mendatang.” Kata syekhona TGB yang pernah menjadi Gubernur NTB dua periode (2008-2019) ini.
Dalam penjelasannya, syekhona yang saat ini menjabat sebagai Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Mesir ini menegaskan, bahwa ukuran satu bulan adalah ukuran yang secara empirik ada buktinya. Dengan kata lain, “pembiasaan” itu bisa terpenuhi bila kita konsisten dalam satu bulan melatihnya.
Kalau satu bulan Ramadan, kita membiasakan melatih diri “qiyamullail” atau tahajjud, salat Duha, tilawah al-Quran, dan amalan-amalan lainnya dengan ikhlas, maka akan menjadi kebiasaan. Tidak akan bakalan hilang seumur hidup kita. Tetapi, kalau bolong-bolong, maka dia akan kembali seperti semula.
Oleh karenanya, terakhir “Mari kita manfaatkan kesempatan (Ramadan) ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah memudahkan.” Doa dan harapan Syekhona TGB pada penutup kajian tafsirannya.
Wa Allah A’lam!
Bilekere, 10 April 2021 M.
*#Staf_Pengajar_di_PP_Selaparang