Cara berpikir manusia tidak akan pernah luput dari konsep abstrak (tidak berwujud/tidak berbentuk/mujarrad) dan konkret (nyata/berwujud/dapat dilihat dan diraba), atau dengan ibarat lain visual dan non-visual. Sesederhana ketika seorang laki-laki disuruh memilih (pilihan ekstrem) antara wanita yang memiliki outer beauty atau inner beauty? Dalam permasalahan tersebut, secara tidak langsung ingin memastikan: “Coba bandingkan mana yang lebih baik cara berpikir abstrak atau konkret?”
Jawaban dari pilihan tersebut akan bermuara pada kebenaran yang subjektif, tergantung dari sudut pandang mana si laki-laki tersebut mengambil tolok ukur. Ketika kondisi pilihannya memang esktrem, dalam arti ketika memilih outer beauty maka dalam waktu yang bersmaan akan menafikan segala bentuk inner beauty ataupun sebaliknya, maka akan nampak jelas bahwa konsekuensi dari pilihan tersebut akan berujung pada keuntungan dan kerugian dalam satu waktu. Namun dalam sudut pandang penulis, perkara esktrem tersebut hanya ada dalam benak belaka, karena tidak dijumpai bentuk manusia yang 100% (kalau bahasa Mesir-nya miah fil miah) outer beauty dan 100% inner beauty. Akan selalu ada tumpang-tindih antara keduanya. Kemudian dua hal tesebut bukan sesuatu yang menetap dan tidak akan bisa berubah; kedunya memiliki potensi untuk diusahakan dan dicapai. Teriakan bahwa dunia asbtrak lebih baik dari dunia konkret pasti ada, namun dengan penolakan yang kuat juga bahwa hal tersebut melanggar keinginan dalam hati kecil.
Tak ayal ketika konsep abstrak dan konkret ini menjadi bahasan tersendiri dalam ilmu bahasa, ilmu logika, filsafat, agama, psikologi dan lain sebagainya. Sampai tercuat beberapa opini perbandingan antara mana yang lebih dahulu konkret atau abstrak? Kemudian mana yang lebih baik dari segi kualitas diantara keduaya? apa yang paling dominan? dan beragam pertanyaan lainnya. Namun dalam bahasan singkat ini penulis tidak akan menjawab semua pertanyaan tersebut, biar para pembaca budiman yang mencari jawabannya. Yang terpenting, poin yang harus diperhatian ketika sampai pada kesimpulan apapun adalah, para pembaca harus bisa membedakan mana perkara yang akan bermuara pada Ikhtilaf Tadhad (perbedaan yang menuju unsur perpecahan) dan Ikhtilaf Tanawwu’ (perbedaan yang memberikan keragaman). Yang kedua positif, akan tetapi yang pertama negatif.
Secara normal manusia masuk dalam pembagian abstrak-konkret yang setara. Sehingga pada diri manusia terhimpun padanya dua unsur jasmani dan rohani; konkret dan abstrak. Maka untuk dapat dikatakan manusia baik tentu harus mengusahakan kedua hal tersebut dengan maksimal, bukan malah menelantarkan salah satunya. Jasmani dan rohani disejajarkan, dunia dan akhirat disejalankan, usaha dan doa diparalelkan, dan rupa dan nilai disederetkan. Tidak layak untuk mengabil yang satu kemudian meninggalkan yang lain.
Itulah sebabnya dalam Alquran ada dua “sejoli” yang sering disebut yaitu beriman dan beramal shalih. Iman bisa dikategorikan sebagi konsep abstrak, kemudian berbuat kebajikan atau amal shalih dapat dikategorikan konsep konkret. Beriman tanpa beramal shalih jelas pincang, beramal shalih tanpa iman pasti tidak akan pernah terwujud. Begitupula menjadi manusia tanpa kemanusiaan jelas cacat, kemudian kemanusiaan tanpa manusia mustahil.
Diujung tulisan ini penulis ingin menegaskan bahwa ini hanyalah lintasan pikiran tentang fenomena yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar maupun tidak. Penulis tidak ingin memberikan legitimasi pada tim abstrak ataupun tim konkret. Karena sebenarnya tidak ada yang benar-benar unggul ketika dari dzatnya saja sudah tercampur sumbu positif-negatif dan paradoks.
Artikel ini ditulis oleh Wahyudi Maulana Hilmy dan diterbitkan pertama kali oleh Syekh Zainuddin Institute