14Jun

NWDI DAN VISI OPEN MINDED

Oleh: Abah Rosela Naelal Wafa

NWDI lahir sebagai organisasi secara administratif kenegaraan atau pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, adalah sebagai buah dari “Kesepakatan Bersama” antara dua zuriat Sang Pendiri NWDI, NBDI dan NW yakni Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid.

Sehingga saat ini, NWDI dan NW adalah menjadi dua organisasi yang siap “all out” menyebarkan ide dan gagasan, mewujudkan cita-cita dan harapan besar Sang Pahlawan Nasional asal NTB tersebut.

Namun, pertanyaan paling mendasar yang selalu digulirkan bak “bola panas” ialah mengapa NWDI harus lahir sebagai organisasi?

Pertanyaan inilah yang menurut hemat penulis dijawab oleh syekhona TGB KH. Muhammad Zainul Majdi dalam kesempatan Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus Wilayah NWDI se-Indonesia pada Sabtu, 1 Dzulqaidah 1442 H./12 Juni 2021 M. kemarin secara off line dan on line di Mataram.

Kata syekhona TGB, “Maulana Syaikh mengajarkan kita bahwa berorganisasi adalah sebuah ijtihad yang lahir karena tuntunan dan tuntutan zaman.”

Beliau mengatakan demikian, karena dalam perjalanan Islam sejak zaman dahulu, justru umat Islam di banyak wilayah tempatnya membangun peradaban-peradaban, hanya sebatas membangun negara, kalau pun lebih dari itu, paling bander membuat lembaga-lembaga pendidikan. Tidak ditemukan adanya lembaga kemasyarakatan (ormas).

“Itu untuk masa-masa awal Islam dan masa pertengahan, bahkan di zaman modern di beberapa negara, kegiatan berorganisasi juga tak ditemukan, kalau pun ada hanya sedikit.” Kata ulama yang masih menjabat Ketua OIAA cabang Indonesia tersebut.

Untuk lebih jelasnya, syekhona TGB al-Hafidz menyebut negara Mesir sebagai contohnya. Di negara viramid tersebut organisasi masyarakat Islam, tidak banyak ditemukan. Padahal, populasi umat Islam di sana sampai puluhan bahkan ratusan juta lebih banyak dibanding umat agama lain.

Nah, sementara di Indonesia tidak demikian. Justru, di republik ini kita dengan mudah menemukan banyak organisasi masyarakat Islam. Kenyataan ini ternyata, menurut syekhona TGB, –memang– orang Indonesia butuh pendekatan secara khusus.

Pasalnya, karena kita orang Indonesia masih ada memiliki ikatan-ikatan primordialisme (menjunjung nilai, norma dan kebiasaan dari sejak lahir) dan sifat sosial, yang bisa menjadi dasar kita mendirikan oragnisasi kemasyatakatan.

Walhasil, jalan atau corak masyarakat Indonesia yang seperti ini pun bisa dibilang sebagai satu “khazanah” tersendiri yang sulit atau jarang ditemukan di negara-negara lain. Termasuk di semua negara Arab. Bahkan, menurut cerita syekhona TGB yang sudah lama di Mesir, seseorang bisa “dicurigai” kalau membuat ormas di sana.

Oleh karena itu, “Pelajaran dari dibangunnya organisaai ini ialah bahwa (kita bisa melihat) al-Magfurulah adalah sebagai sosok guru kita yang terbuka, mau membuka dan membuat instrumen perjuangan yang sesuai tuntunan zaman dan kebutuhan lokal.” Tegas TGB al-Azhari tersebut.

Kebutuhan lokal? Ya. Pada pendirian organisasi itu ada nilai lokalitas yang dihargai, berupa corak umat Islam Indonesia yang suka menghimpun diri dalam suatu organisasi.

Oleh karena itu, pesan syekhona TGB pada kesempatan tersebut, mari kita membawa semangat berorganisasi yang memiliki keterbukaan wawasan (open minded), tidak terkungkung oleh diri sendiri, atau seperti katak dalam tempurung, kecuali bila kita mengehendaki demikian.

Sikap dan fikiran berorganisasi yang inklusif atau membatasi diri, sulit dan enggan menerima perubahan dan bekerjasama dengan pihak lain, adalah satu sikap yang dinilai oleh alumnus Al-Azhar Mesir tersebut sebagai sikap yang bertentangan dengan apa yang dicontohkan al-Magfurulah.

Maulana Syaikh Hamzanwadi justru memiliki semangat juang berskala nasional dan bahkan global seperti yang tertuang dalam doa, وانشر واحفظ وأيد نهضة الوطن في العالمين . Ekspansi perjuangan al-Magfurulah melintasi negara lain. Alam secara keseluruhan.

Agar sejalan dengan semangat Sang Pendiri, maka syekhona TGB menegaskan, “Berpikir secara lokal dalam konteks hajat umat di sini, wajib. Tetapi, menutup diri terhadap perkembangan di luar, enggan menjalin hubungan baik dengan organisasi lain, atau tidak mau mengajak orang luar untuk mengenal NWDI dan Al-Magfurulah, maka sikap tersebut harus ditinggalkan.”

Nah, pada kenyataannya, langkah yang ditempuh NWDI saat ini adalah langkah yang baik. Demikian kata TGB menilai setelah beliau melihat atau mencermati daftar nama-nama Pengurus Wilayah yang masing-masing daerah terwakili. Ternyata, NWDI tidak hanya dinahkodai orang NTB, namun ada pula orang dari daerah Jawa, Sunda, Bali, Sumatera, Kalimantan dan lainnya.

“Mari kita bersikap terbuka seperti al-Magfurulah. Jangan mensakralkan susuatu yang tidak sakral. Jangan membekukan sesuatu yang tidak boleh dibekukan. Atau juga, jangan membakukan apa yang tak boleh dibakukan.” Imbuhnya memesan.

Syekhona TGB menyampaikan pemikiran demikian, karena beliau (kita) meyakini apa diajarkan Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid adalah ajaran yang sangat relevan untuk semua kalangan.

Terakhir, beliau berharap dan berpesan, supaya semua ajaran Maulana Syaikh yang lain, seperti cara mencintai Indonesia sekaligus mencintai agama Islam, atau cara menyikapi dinamika di negara kita dengan arif dan bijaksana dengan orientasi kemaslahatan untuk semua, seluruhnya harus dihidupkan.

“Hidupkan iman hidupkan takwa
Agar hiduplah semua jiwa
Cinta teguh pada agama
Cinta kokoh pada negara”
(Wasiat Renungan Masa Hamzanwadi).

Wa Allah A’lam!

PP. Selaparang, 14 Juni 2021 M.

*#Staf_Pengajar_di_PP_Selaparang

Sekretaris_PC_NWDI_Kediri

Leave a reply