24May

TGB Menghadirkan Agama sebagai Sumber Inspirasi

Oleh: Atun Wardatun

Senin, 23 Mei 2022, Beliau hadir sebagai Keynote speaker pada acara “Ekspos Produk Penelitian” kerjasama Balitbang Semarang dan UIN Mataram (LP2M)

Ada banyak hal yang sangat menarik yang disampaikan oleh beliau pagi ini. Beliau membagi pengalamannya sebagai Ketua alumni Al Azhar di Indonesia melanjutkan legacy Prof. Quraisy Syihab. Grand syekh Al Azhar dan organisasi yang beliau pimpin menitikberatkan perhatian terkait dengan isu keislaman dan kemanusiaan.

  1. Kehidupan beragama yang sehat adalah tuntutan yang harus diwujudkan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan kolaborasi. Terma
    “Lita’arafu” dalam Al Qur’an yang secara literal artinya saling mengenal juga harus kita artikan sebagai saling belajar, saling mengisi. Kolaborasi adalah tuntunan zaman yang tidak bisa lagi ditinggalkan.
  2. Terkait keislaman, ada tiga hal yang dilakukan: A) mendekonstruksi pemikiran ekstrim (basis argumentasi radikalis dan ekstrimis). Kenapa penting? Kita meyakini bahwa terorisme, ekstremisme dan segregasi sosial berawal dari pemikiran. Hal ini mengakibatkan hancurnya hubungan kemasyarakatan. B) Pembaharuan pemikiran keagamaan. Bagaimana kita mengapresiasi Turats tetapi tidak mensakralkan. Meletakkan secara proporsional dan memahami dengan benar teks-teks keagamaan. Mengupayakan pandangan berbasis maqashid syariah walaupun bertentangan secara literal. Di antaranya: kesetaraan laki-laki dan perempuan, hubungan suami istri (haram memukul perempuan dengan alasan apapun). Pemikiran keagamaan perlu berdasarkan penalaran dan pemahaman komprehensif. C) Berhati-hati dalam pemberian fatwa. Banyak ketegangan di negara muslim karna demikian banyak dan beragamnya fatwa. Perlu pembedaan antara posisi sebagai faqih, mufti, dan qadhy.
  3. Faqih (ahli fiqh) memahami nash, mereka merupakan pemikir keagamaan dan memiliki wilayah tersendiri. Mufti (pemberi fatwa) memahami nash dan realitas. Mufti pun tidak boleh memaksa apa yang difatwakannya untuk mengikat semua orang. Hanya Qadhy (hakim agama) yang memiliki keputusan yang mengikat. Seringkali ketiga posisi ini diperankan secara bersamaan oleh individu atau kelompok tertentu. Jika posisi ini diletakkan dengan tepat maka umat muslim tidak akan mengalami split personality di dalam bagaimana meletakkan agama dan negara. Tidak ada kontradiksi untuk menjadi umat Islam dan menjadi warga negara.
  4. Isu kemanusiaan menyentuh dua hal: a. mengokohkan ketahanan sosial bermasyarakat. Bahasan tentang agama harus menyentuh masalah ini. Agama harus berdasarkan norma, tetapi juga harus bergerak menjadi spiritual kolektif dan inspirasi bagi transformasi sosial. Contoh halal bi halal. b. Perdamaian global.

Selain hal tersebut beliau juga menyampaikan pesan untuk para akademisi di Universitas Islam bahwa:

  1. Penelitian keagamaan itu bukan iadatul kalam, bukan seperti gema yang berulang2. Harus terus menggali kebaharuan2 agar agama terus menjadi inspirasi.
  2. Nasib agama hari ini dan ke depan ditentukan oleh para juru bicara agama bukan oleh teks agama. Jika mereka hadir dengan narasi yang mencerahkan dan menyatukan maka itulah gambaran masa depan agama kita. Maka para akademisi dan mahasiswanya harus menjadi juru bicara agama yang menyampaikan teks agama secara tepat, menyentuh hati dan memeluk semua umat beragama sehingga Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Terima kasih TGB🙏

Leave a reply