03Apr

Memperkuat Indonesia dengan Saling Mempercayai

HAMZANWADI.ID – Forum Studi Islam (FSI) Lembaga Dakwah Fakultas di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menghadirkan Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia TGB HM Zainul Majdi bersama Director Jamaica Muslim Center New York USA Imam Shamsi Ali menggelar diskusi virtual. Acara bertema Indonesia Rumah Kita ini turut menghadirkan Wakil Ketua MPR RI H Zulkifli Hasan.

Dalam diskusi hybrid ini Ketua Umum Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyah (NWDI) menyampaikan, umat Islam Indonesia tidak terpisah dari keislaman dan kebangsaan. Ia optimis dengan muslim di Indonesia akan memberikan kontribusi pada peradaban yang berbasis pada nilai keislaman.

“Pernyataan ini tentu saja bukan sekadar untuk menghibur hati dan menguatkan diri. Allah menyampaikan, di dalam Alquran optimisme itu karakter orang yang beriman. Di dalam ayat Alquran dari jauh dan dekat tak ada yang menyebut tentang sikap  pesimis orang beriman,” katanya, Sabtu 3 April 2021.

“Di dalam Alquran disebut yastabsirun, yabtaghun, fastabsiru, berikan kabar gembira, mereka mengharapkan masa depan. Itu semua optimis,” sambungnya.

Sejarah Indonesia, sambung TGB,  menunjukkan demikian banyak karunia kepada bangsa Indonesia. Bila kembali ke 1945, belasan ribu pulau, ratusan etnis, dan ratusan bahasa, ditambah dengan sejarah yang beragam serta kerajaan yang kaya. Kerajaan, kesultanan, dan kelompok masyarakat ini akhirnya berkenan bersama dalam satu negara yaitu Indonesia.

“Indonesia sesuatu yang abstrak ada kenapa kemudian bisa mempercayai. Karena ini ada  rasa ingin menghimpun diri. Rasa ingin bersama,” terangnya.

“Siapa yang meletakkan rasa ini, tentu saja Allah. Hingga kemudian para founding father diberi kesamaan cara pandang, ini sesuatu yang tak bisa dibayar dengan apapun,” imbuhnya.

Ketua OIAA Cabang Indonesia TGB HM Zainul Majdi menjadi pembicara pembukaan FSI FEB Universitas Indonesia bersama Imam Shamsi Ali, Sabtu 3 April 2021.

Diakui TGB, tentu tidak semua rakyat di Indonesia pernah berjumpa dengan Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan banyak lagi. Namun, rakyat Indonesia  memiliki kepercayaan kepada pemimpinnya. Ini adalah intangible aset yang penting untuk dirawat.

“Saya optimis dengan Indonesia ke depan. Dengan syarat saling mencintai satu sama lain, percaya satu sama lain. Kalau ada distrust antar umat beragama, maka optimisme itu hanya sekadar angan-angan saja,” urainya.

Kepada peserta webinar, TGB mengingatkan pentingnya menjaga rasa persaudaraan. Memiliki trust, saling berpikir baik, saling mengapresiasi, dan saling support. Sumber daya di darat maupun di laut akan berjalan dengan maksimal ketika ada saling menghargai dan menghormati, serta memanusiakan satu sama yang lain.

Di dalam Surat Al Hujurat Ayat 13, ya ayyuhan-nasu inna khalaqnakum min żakariw wa unsa wa ja’alnakum syu’ụbaw wa qaba`ila lita’arafu, itu merupakan modal luar biasa. Ta’aruf berasal dari ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pembelajaran. Di tanah yang kaya dengan potensi seperti Indonesia,  satu sama lain hendaknya saling mengisi. Umat Islam harus memiliki etos belajar yang kuat. Peradaban besar memiliki tradisi keilmuan yang tinggi dan kuat. Hal tersebut terlihat saat ulama dahulu membangun pondok pesantren. Dakwah dari pendidikan menjadi prioritas, Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi substansi masyarakat.

“Masyarakat yang banyak namun tanpa memiliki kecintaan ilmu yang cukup, mana mungkin menjadi menjadi unggul dan sanggup diteladani,” ujarnya.

Dalam lita’arafu lanjut Cucu Pahlawan Nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini terdapat juga ada Al Irfan atau kebijaksanaan. Di tanah Indonesia, tanah berbagi untuk seluruh anak bangsa harus mengembangkan sikap kebijaksanaan, baik berdakwah, beragama, dan berhubungan sosial. Menyikapi isu proporsionalitas. Seperti kontestasi kepemimpinan, tidak perlu ditarik secara jauh hingga menjadi masalah hidup dan mati. Membangun sikap berindonesia. Kemudian, al’urf, tradisi kesepakatan. Contoh rasul membangun kesepakatan ketika membangun piagam Madinah, melibatkan seluruh elemen di Madinah dari beragam agama, suku, dan strata sosial berbeda.

“Kita di Indonesia memiliki modal itu, di dalamnya ada ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, kerakyatan, dan permusyawaratan. Semua nilai baik dari Islam,” bebernya.

Kesepakatan ini, kata TGB, menjadi azas untuk bergerak. Tidak selalu dihadapkan dengan normatif keagamaan. Dalam ranah hubungan sosial Islam memberikan nilai, tidak memberikan bentuk final. Seperti qobaliah kesukuan, madaniah atau sistem urban, atau badawiah atau sistem nomaden itu tidak ada masalah.  Sistem kepemimpinan juga sama, entah republik, kerajaan, keemiran, dan parlementer yang utama tidak masalah. Yang penting didorong oleh Islam.

“Terakhir, Islam tidak berada di ruang hampa. Ada di ruang dan waktu. Ruang itu adalah Indonesia, saat ini dan masa depan. Bagian dari menjaga Indonesia adalah menjaga Islam. Berislam dengan baik bagian merawat dan menjaga Indonesia dengan baik,” imbuhnya.

Dalam sesi tanya jawab, ketika menjadi pejabat publik TGB dihadapkan pada problem yang berkaitan dengan agama untuk menghadirkan kesejukan.  Saat itu Nusa Tenggara Barat, khususnya Pulau Lombok terkenal dengan pariwisata. Ada aspirasi dari beberapa tokoh agama karena gubernurnya ulama, pariwisata tidak perlu ada lagi. Dari pariwisata menghadirkan prilaku yang tidak baik.

TGB menyebut, umat Islam diminta berdakwah. Ketika menghadapi masalah tidak menghadirkan masalah baru. Ketika wisata ditutup ada ratusan ribu kehilangan pekerjaan, di maqosid syariah menjaga jiwa (hifzul nafs) dan harta (hifzul mal). Jika pariwisata ditutup menghadirkan pengangguran luar biasa.

“Saya kemudian mengajukan selain wisata konvensional, kemudian menghadirkan wisata halal. Ini untuk menentramkan masyarakat NTB yang memiliki keislaman kuat. Menghadirkan pariwisata yang dekat dengan agama,” ceritanya.

Awalnya, kata TGB, dari non muslim protes. Ia pun meminta pelaku pariwisata mengikuti sertifikasi. Setahun kemudian ia datang lagi dan mengucapkan terima kasih. Pengunjung dari timur tengah meningkat 200 persen. Ini menghasilkan dampak ekonomi luar biasa yang tak hanya dinikmati umat Islam, tapi umat agama lain.

“Ketika Islam hadir di ruang publik wa amaa arnaka ila rahmatan lil alamin. Bukan hanya menghadirkan kebijakan yang hanya dinikmati oleh umat Islam. Ketika diformulasikan Islam menghadirkan kemaslahatan untuk semua orang,” imbuhnya.

Terakhir, TGB menyampaikan, para peserta webinar mensyukuri sebagai bangsa Indonesia, ekspresi berislam di Indonesia paling bebas dan luas bentangannya. Berorganisasi, beracara, dan menggelar agenda keagamaan dengan bebas. Hal-hal baik ini harus terus dijaga. Sesuai yang disampaikan oleh Rasululloh Muhammad SAW, ketika Islam datang maka tempat itu diberkahi oleh Allah SWT. Surat  Al A’raf Ayat 96, ahlal qura bermakna kepada orang-orangnya.

“Ayo tingkatkan kepahaman kita pada agama supaya bisa terus memberi kontribusi,” tutupnya.

Diakui TGB, tentu tidak semua rakyat di Indonesia pernah berjumpa dengan Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan banyak lagi. Namun, rakyat Indonesia  memiliki kepercayaan kepada pemimpinnya. Ini adalah intangible aset yang penting untuk dirawat.

“Saya optimis dengan Indonesia ke depan. Dengan syarat saling mencintai satu sama lain, percaya satu sama lain. Kalau ada distrust antar umat beragama, maka optimisme itu hanya sekadar angan-angan saja,” urainya.

Kepada peserta webinar, TGB mengingatkan pentingnya menjaga rasa persaudaraan. Memiliki trust, saling berpikir baik, saling mengapresiasi, dan saling support. Sumber daya di darat maupun di laut akan berjalan dengan maksimal ketika ada saling menghargai dan menghormati, serta memanusiakan satu sama yang lain.

Di dalam Surat Al Hujurat Ayat 13, ya ayyuhan-nasu inna khalaqnakum min żakariw wa unsa wa ja’alnakum syu’ụbaw wa qaba`ila lita’arafu, itu merupakan modal luar biasa. Ta’aruf berasal dari ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pembelajaran. Di tanah yang kaya dengan potensi seperti Indonesia,  satu sama lain hendaknya saling mengisi. Umat Islam harus memiliki etos belajar yang kuat. Peradaban besar memiliki tradisi keilmuan yang tinggi dan kuat. Hal tersebut terlihat saat ulama dahulu membangun pondok pesantren. Dakwah dari pendidikan menjadi prioritas, Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi substansi masyarakat.

“Masyarakat yang banyak namun tanpa memiliki kecintaan ilmu yang cukup, mana mungkin menjadi menjadi unggul dan sanggup diteladani,” ujarnya.

Dalam lita’arafu lanjut Cucu Pahlawan Nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini terdapat juga ada Al Irfan atau kebijaksanaan. Di tanah Indonesia, tanah berbagi untuk seluruh anak bangsa harus mengembangkan sikap kebijaksanaan, baik berdakwah, beragama, dan berhubungan sosial. Menyikapi isu proporsionalitas. Seperti kontestasi kepemimpinan, tidak perlu ditarik secara jauh hingga menjadi masalah hidup dan mati. Membangun sikap berindonesia. Kemudian, al’urf, tradisi kesepakatan. Contoh rasul membangun kesepakatan ketika membangun piagam Madinah, melibatkan seluruh elemen di Madinah dari beragam agama, suku, dan strata sosial berbeda.

“Kita di Indonesia memiliki modal itu, di dalamnya ada ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, kerakyatan, dan permusyawaratan. Semua nilai baik dari Islam,” bebernya.

Kesepakatan ini, kata TGB, menjadi azas untuk bergerak. Tidak selalu dihadapkan dengan normatif keagamaan. Dalam ranah hubungan sosial Islam memberikan nilai, tidak memberikan bentuk final. Seperti qobaliah kesukuan, madaniah atau sistem urban, atau badawiah atau sistem nomaden itu tidak ada masalah.  Sistem kepemimpinan juga sama, entah republik, kerajaan, keemiran, dan parlementer yang utama tidak masalah. Yang penting didorong oleh Islam.

“Terakhir, Islam tidak berada di ruang hampa. Ada di ruang dan waktu. Ruang itu adalah Indonesia, saat ini dan masa depan. Bagian dari menjaga Indonesia adalah menjaga Islam. Berislam dengan baik bagian merawat dan menjaga Indonesia dengan baik,” imbuhnya.

Dalam sesi tanya jawab, ketika menjadi pejabat publik TGB dihadapkan pada problem yang berkaitan dengan agama untuk menghadirkan kesejukan.  Saat itu Nusa Tenggara Barat, khususnya Pulau Lombok terkenal dengan pariwisata. Ada aspirasi dari beberapa tokoh agama karena gubernurnya ulama, pariwisata tidak perlu ada lagi. Dari pariwisata menghadirkan prilaku yang tidak baik.

TGB menyebut, umat Islam diminta berdakwah. Ketika menghadapi masalah tidak menghadirkan masalah baru. Ketika wisata ditutup ada ratusan ribu kehilangan pekerjaan, di maqosid syariah menjaga jiwa (hifzul nafs) dan harta (hifzul mal). Jika pariwisata ditutup menghadirkan pengangguran luar biasa.

“Saya kemudian mengajukan selain wisata konvensional, kemudian menghadirkan wisata halal. Ini untuk menentramkan masyarakat NTB yang memiliki keislaman kuat. Menghadirkan pariwisata yang dekat dengan agama,” ceritanya.

Awalnya, kata TGB, dari non muslim protes. Ia pun meminta pelaku pariwisata mengikuti sertifikasi. Setahun kemudian ia datang lagi dan mengucapkan terima kasih. Pengunjung dari timur tengah meningkat 200 persen. Ini menghasilkan dampak ekonomi luar biasa yang tak hanya dinikmati umat Islam, tapi umat agama lain.

“Ketika Islam hadir di ruang publik wa amaa arnaka ila rahmatan lil alamin. Bukan hanya menghadirkan kebijakan yang hanya dinikmati oleh umat Islam. Ketika diformulasikan Islam menghadirkan kemaslahatan untuk semua orang,” imbuhnya.

Terakhir, TGB menyampaikan, para peserta webinar mensyukuri sebagai bangsa Indonesia, ekspresi berislam di Indonesia paling bebas dan luas bentangannya. Berorganisasi, beracara, dan menggelar agenda keagamaan dengan bebas. Hal-hal baik ini harus terus dijaga. Sesuai yang disampaikan oleh Rasululloh Muhammad SAW, ketika Islam datang maka tempat itu diberkahi oleh Allah SWT. Surat  Al A’raf Ayat 96, ahlal qura bermakna kepada orang-orangnya.

“Ayo tingkatkan kepahaman kita pada agama supaya bisa terus memberi kontribusi,” tutupnya.

Tinggalkan Komentar