Oleh : H. Rosiady Sayuti, Ph.D.
HARI AHAD, 24 Juli 2023, Pukul 21.13 Wita, kerabat saya Dr Ridwan Mas’ud, calon guru besar di UIN Mataram menelepon saya mengabarkan berita yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
“Abah Husni bilinang kak tuan, beruk nike. Jenazah masih lek Narmada,” katanya tanpa bisa menahan suara tangis kesedihannya yang kemudian ditularkan ke saya. Belakangan, ketika kami ke Dasan Geriya, di rumah tempat almarhum disemayamkan baru saya tahu kalau ceritanya demikian.
Dr. Haji Muhammad Husni Muadz, MA, yang menamatkan S3-nya di Arizona University, sore itu memberikan materi pelajaran atau pelatihan di acara Sekolah Perjumpaan yang beliau rintis dan kemudian tekuni sejak tahun 2015 yang lalu.
Menjelang magrib, setelah pemberian materi selesai beliau pulang bersama dua orang staf yang selalu menemani. Di perjalanan almarhum terkena serangan jantung, kemudian dibawa ke RS Awet Muda Narmada dimana almarhum menghembuskan napas terakhirnya. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Pelatihan Sekolah Perjumpaan itu sendiri merupakan kelanjutan dari kegiatan pelatihan sebelumnya yang disebut dengan Pembelajaran Primer. Sebelumnya almarhum juga merekonstruksi pelatihan tentang Learning Organization. Berbagai macam pelatihan yang beliau ciptakan menurut saya adalah berangkat dari kegalauan beliau terhadap hubungan antara sesama manusia yang menurut beliau masih jauh dari konsep yang ideal, seperti yang diharapkan oleh agama maupun budaya. Atau sebagaimana teori-teori ilmu pengetahuan, khususnya teori-teori ilmu sosial.
Bahwa dalam kehidupan kemasyarakatan kita sehari-hari masih sangat banyak kita temui orang-orang yang tidak jujur. Juga masih banyak orang-orang yang dalam kategori universal masuk dalam kelompok manusia yang tidak baik.
Padahal, menurut Abah Husni, ketika ilmu pengetahuan manusia makin meningkat, ketika pendidikan rata-rata masyarakat makin tinggi, maka seharusnya kehidupan sosial kemasyarakatan kita harusnya makin baik. Dan itu dicirikan dengan saling berterima di antara sesama manusia.
Atau dengan ‘kaidah’ yang lain, manusia kemudian dapat menjadikan dirinya ‘berterima’ dengan sesama mahluk, dengan lingkungan, dengan alam, dan pada gilirannya ‘berterima’ dengan Sang Maha Penciptanya.
Dalam bukunya, “Sekolah Perjumpaan” (GH Publishing, 2017:91) abah Husni menulis: “Perjumpaan dilihat dari eksistensi keberadaan adalah peristiwa terbesar di alam ini. Manusia secara konstitutif adalah makhluk paling komplek dari semua ciptaan yang ada di kosmos. Secara biologis manusia terdiri atas materi dan kehidupan seperti makhluk hidup kosmos lainnya.
Akan tetapi manusia memiliki unsur konstitutif lain yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di kosmos, yaitu rohani, dan karenanya, manusia bukan sekedar mikro-kosmos; ia melampaui kosmos dan memiliki nilai yang melampaui nilai kosmos. Karena elemen konstitutif manusia terdiri atas komponen yang ada di jagad raya dan komponen lain yang tidak ada di jagad raya, seperti ruh dengan potensi kesadaran yang dimiliki, maka manusia secara konstitutif adalah Kosmos, dengan K besar, karena unsur-unsur konstitutifnya meliputi, dan bukan sekedar bagian dari, unsur-unsur kosmos.
Oleh karenanya, tindakan-tindakan manusia potensial memiliki nilai lebih tinggi dari semua kejadian yang ada dalam kosmos.”
Kita mungkin tidak menyadari bahwa esensi perjumpaan seperti yang dinarasikan itu. Bagi kebanyakan kita, perjumpaan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Sebagai sebuah rutinitas keseharian. Tidak disadari bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia, yang kemudian diteorikan sebagai sebuah interaksi sosial ataupun relasi sosial, bermula dari kata “perjumpaan.” Bahwa nilai kedahsyatan sebuah perjumpaan antara sesama manusia sesungguhnya tidak kalah luar biasanya, apabila dibandingkan dengan ‘perbenturan’ antar planet.
Sehingga, dalam keyakinan abah Husni, yang menjadi bahan diskusi di ‘padepokan’ beliau di P2BK selama lebih dari dua puluh tahun, manusia bisa diperbaiki ‘mindset’nya melalui instrument perjumpaan itu. Maka lahirlah institusi pembelajaran perilaku dan karakter yang kemudian dinamakan Sekolah Perjumpaan. Dikatakan:
“sekolah ini tidak memiliki ciri fisik seperti sekolah biasa, tapi cirinya adalah komunitas yang ada di dalamnya memiliki collective consciousness untuk terus menerus bersama-sama berlatih dalam setiap perjumpaan mereka mempraktekkan nilai-nilai yang akan melahirkan emergence keberterimaan hati.”
Pada awalnya, istilah yang digunakan adalah “bengkel perjumpaan.” Dalam bukunya, di halaman 162 tertulis: “Kenapa bengkel perjumpaan? Karena perjumpaan-perjumpaan selama ini masih belum sehat, dan masih memerlukan perbaikan-perbaikan. Konsep praktik perbaikan di ranah praksis seperti inilah yang ingin kita bayangkan terjadi dalam bengkel perjumpaan.”
Tugas yang Baru Dimulai
Belum lama ini, almarhum masuk dalam Dewan Pakar Majelis Adat Sasak. Dalam pertemuan awal Lembaga ini, almarhum, dalam nada tanya ingin mendapatkan penjelasan apa yang sesungguhnya fungsi dari Dewan Pakar tersebut. Namun diujungnya kemudian almarhum menjelaskan sendiri kondisi masyarakat Sasak pada umumnya yang notabene masih belum dapat dikatakan masyarakat maju, seperti halnya masyarakat dari kelompok etnis lain di Indonesia.
Katakanlah dari segi pendidikan formal rata-rata penduduk atau ditinjau dari derajat kesehatan yang dikukur dari angka kematian bayi dan lain sebagainya. Singkatnya, almarhum menjelaskan bahwa secara ideal di situlah salah satu fungsi dari Lembaga Majelis Adat Sasak, bagaimana cara untuk meningkatkan derajat kehidupan masyarakat sasak dari segala segi. Termasuk dari segi sosial, budaya, dan juga politiknya.
Namun, ketika beliau mempertanyakan apakah secara keseluruhan masyarakat Sasak, ditinjau dari teori Sekolah Perjumpaan sudah dapat saling berterima? Dijawab sendiri oleh beliau, “saya kira belum.” Dan pernyataan terakhir itulah yang kemudian menarik bagi yang hadir dalam pertemuan itu.
Bahwa keberterimaan kita sesama Sasak ini ternyata belum selesai. Bahwa perilaku keseharian kita sebagai manusia sasak juga belum mencerminkan perilaku ideal, yang sering dibangga-banggakan sebagai ‘Sasak Adi’ dengan jati diri tingkat keilmuan yang tinggi namun rendah hati atau bersahaja.
Bahwa kita masih, mungkin tanpa disadari mengkotak-kotakkan diri atau saling kotak mengkotakkan yang kemudian tercermin dalam setiap perjumpaan dimana kita menjadi merasa berbeda dengan orang yang kita jumpai. Berbeda dalam arti merasa lebih tinggi atau merasa lebih rendah.
Akibatnya, menurut Abah Husni, “yang dominan dalam kehidupan sosial kita adalah persaingan di semua level, dengan pola relasi dominan yang terbangun adalah menang atau kalah. Akibatnya, ancaman perpecahan terjadi di mana-mana, nyaris menjadi trend yang tak terbendungkan.”
Pertanyaannya kemudian, apakah kondisi atau bahkan karakter itu bisa diubah atau berubah? Jawabannya bisa. Dan beliau sudah buktikan dengan membentuk komunitas-komunitas pembelajar di banyak tempat, apakah berbasis tempat tinggal, lembaga pendidikan, atau bahkan perkantoran.
Sesaat sebelum berpulang ke rahmatullah, beliau memberikan materi itu atas undangan sebuah institusi perkantoran di Narmada. Harapan sang pengundang tentu setelah melewati acara pelatihan itu, anggota komunitas di kantornya, atau para pegawainya akan menjadi manusia yang saling berterima satu dengan yang lain, tanpa ada mindset ‘tinggi-rendah, atau ‘menang-kalah’ lagi. Semua bisa mengendalikan diri agar ‘tidak mengatakan sesuatu kalau itu diketahui sebagai sesuatu yang salah,’ seperti membicarakan kejelekan orang lain, atau membohongi orang lain.
Sesuatu yang sesungguhnya biasa-biasa saja, namun untuk memberikan pelajaran bagaimana mengubahnya, memerlukan teori, ilmu, dan diskusi yang tidak sebentar. Selamat jalan Abah Husni.
Semoga ilmu dan aplikasi teori yang sudah dinarasikan dapat dilanjutkan oleh murid-muridmu, para pembelajar sepanjang hayat, seperti yang engkau sering katakan dalam diskusi di paro malam kedua, setiap pekan semasa hidupmu. Insya Allah.
Benar sekali…kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan etnis-etnis yang lain