09Agu

Pandemi Covid-19 & Neo-Jabariyah

Jabariyah dalam teologi Islam dikategorikan sebagai ajaran yang fatalistik, karena ajaran ini tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya; perbutan manusia dianggap sebagai sesuatu yang Allah sudah atur sejak zaman azali dan manusia diposisikan sebagai mahluk yang tidak mempunyai kebebasan dalam memilih atau menghindar. 

Istilah Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa; dari definisi ini saja kita sudah bisa melihat bahwa aliran ini merupakan aliran yang mengedepankan faham bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dan daya dalam melakukan dan melakukan perbutannya, melainkan sudah ditentukan dan dijalankan oleh Allah. 

Faham ini didirikan oleh Ja’ad bin Dirham yang disebarluaskan oleh Jahm bin Shawan dari Khurasan. Terdapat beberapa teori mengenai kemunculan aliran ini, seperti yang digambarkan Ahmad Amin, seorang cendikiwan Muslim asal Mesir, yang melihat kondisi geografis bangsa Arab yang penuh dengan ketandusan padang pasir. Kondisi ini bepengaruh besar terhadap karakter para panganut Jabariyah. Dalam kondisi alam yang demikian, manusia tidak mempunyai daya dan kuasa untuk menentukan arah hidupnya, maka sikap yang dianggap paling tepat adalah menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. 

Al-Syahrastani, seorang ulama kalam asal Khurasan, membagi aliran Jabariyah ke dalam dua golongan, yakni Jabariyah ekstrem dan Jabariyah moderat. Jabariyah ekstrem berpendapat bahwa manusia bukan hasil dari keinginannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan oleh Allah. Begitupun juga dengan perbutan buruk manusia, juga bukan merupakan hal yang ingin dilakukan manusia, melainkan sudah menjadi ketentuan qada’ & qadar Allah sejak zaman azali, sehingga manusia terpaksa melaksanakannya. 

Kita tahu bahwa Muslim Indonesia umumnya menganut faham Ahlussunah Wal Jamaah, ini bisa kita lihat dari bagaimana mayoritas pengikut ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama & Nahdlatul Wathan yang secara tegas memang mengatakan diri sebagai pengikut Ahlusssunah Wal Jamaah, Muhammadiyah juga walaupun tidak secara nyata menganut Asy’ariyah, namun pengikutnya tidak lepas dari faham Asy’ariyah. 

Semenjak awal adanya pandemi Covid-19 ini faham Jabariyah mendapat tempat yang luar biasa dalam keyakinan umat Islam khususnya di Indonesia. Ada banyak sekali umat Islam yang tidak menghiraukan anjuran para ulama dan pemerintah yang melarang salat berjamaah di masjid, mengganti sholat Jum’at dengan salat zuhur di rumah, tidak berada di kerumunan, tidak melakukan dzikiran berjamaah selama pandemi, dll. 

Mereka beyakinan bahwa segala musibah datang dari Allah, maka dengan beribadah di masjid akan menghilangkan corona itu sendiri. Narasi-narasi yang mengatakan “Jangan takut Corona, takutlah kepada Allah” menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia, yang umumnya Ahlussunnah Wal Jamaah justru dalam melihat pandemi ini mempraktikkan faham Jabariyah. Walaupun memang faham Jabariyah secara aliran tidak kita temukan di Indonesia. 

Perilaku masyarakat Indonesia seperti yang saya sebut di atas, tidak mencerminkan bagaimana seorang yang berfaham Ahlussunah dalam menyikapi musibah. Terkait dalam konteks ini umumnya kita tahu bahwa ciri Ahlussunah Wal Jamaah adalah adanya konsep Ikhtiyar umat Islam dalam menghadapi covid-19

Dalam hal seperti ini, umat Islam semestinya harus mendukung pemerintah dalam mengatasi Covid-19 dengan mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku demi kemaslahatan bersama.

Ditulis oleh Abdul Malik Salim Rahmatullah dan telah diterbitkan pertama kali di Syekh Zainuddin Institute.

Tinggalkan Komentar