Oleh: Dr. L. Parhanuddin, M.Pd. (Wasekjend Pimpus Pemuda NWDI)
Politik dan karakter dua hal berbeda. Kalau politik itu seni mewujudkan “kepentingan” berdasarkan nilai-nilai Demokrasi. Sedang “karakter” seni berprilaku dan bertutur berdasarkan nilai-nilai kehidupan yg digariskan oleh agama, bangsa dan negara.
Relasi politik dan karakter dapat ditinjau dari aspek Prilaku aktor politik dalam pola interaksinya. Pola Prilaku tersebut selalu terkait dengan objek dan situasi yang dihadapi secara pribadi, organisasi, kelompok atau bangsa. Didalam pola prilaku tersebut ada rujukan nilai yang menjadi landasan, motivasi dan tujuan. (Sanusi,2017). Pola prilaku seseorang secara pribadi, kelompok, organisasi masyarakat maupun bangsa pada dasarnya dilandasi atau dimotivasi nilai tertentu. Prilaku yang berpola sesusungguhnya menunjukkan nilai-nilai yang diyakini. Oleh karenanya menarik membaca pola prilaku politik TGB dikaji dalam perspektif karakter.
Menelaah Latar Karir Politik TGB
Menelaah Perjalanan dan prilaku politik TGB memang cukup unik, sebab masyarakat mengenal beliau bukan sebagai politisi tapi sebagai ulama Hafiz dan ahli tafsir. Rekam jejak di organisasi yang menjadi basis pendidikan politik generasi muda nyaris tidak terdetek. Seperti menjadi aktivis HIMMAH NW, HMI, PMII, atau aktif di organisasi central kampus seperti menjadi ketua BEM dan lain-lain. Meskipun begitu TGB bisa beradaptasi dengan cepat dengan dunia politik yang tergolong tantangan baru dalam pengalaman keilmuan beliau. Tdk salah prof. Komaruddin Hidayat mengatakan: TGB adalah pembelajar yang cepat.
Kehadiran TGB ditengah masyarakat adalah sebagai pendakwah. Kebetulan beliau lahir dan besar dilingkungan keluarga pejuang agama bangsa dam Negara. Beliau salah satu cucu ulama besar dan pahlawan Nasional asal NTB (TGKH. Zainuddin Abdul Majid Al-Pansori) dari putri pertamanya Ummi Hj. Siti Rauhun Zainuddin Abdul Majid. Awal kepulangannya dari tanah Mesir bertepatan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang huru-hara pasca wafat niniknya.
Saat itu, Keharmonisan masyarakat berada dalam titik nadir. Sendi-sendi bermasyarakat dan berbangsa terancam buyar. Konflik terjadi dimana-mana. Mimbar dakwah banyak berisi konten-konten bernuansa provokatif, dibumbui penghakiman dan pembenaran terhadap kelompok-kelompok tertentu. Tidak terlihat perbedaan orang yang mengerti agama dan orang awam. Uniknya, orang di terminal/prempetan yang kategori awam lebih sering bicara supaya tokoh-tokoh patuh dan berhenti berkelahi.
Prilaku masyarakat tdk lagi mencerminkan nilai-nilai agama yang diajarkan guru besar Maulanasyaekh. Karena terjebak klaim kebenaran yang menyebabkan abai dengan kebenaran haqiqi.
Warga Hamzanwadi seperti ayam kehilangan induk. Sikap merekapun beragam. Sebagian mereka bertaklid dengan tokoh kepercayaan Almagfurulah semasa Maulanasyaekh, sebagian lagi memilih mendukung zurriat yg didiskriminasi, sebagian lagi memilih tdk berpihak dan mengerem diri memberi penghakiman pada zurriat dan murid gurunya.
Polarisasi itu muncul sebagai akibat simpul-simpul organisasi gagal merajut silaturahmi. Sehingga setitik bara, membakar hangus silaturahmi zurriat dan sebagian besar murid almagfurulah Maulanasyaekh. Yang memprihatinkan, kreativitas tokoh-tokoh merajut silaturahmi juga terbilang minim. Kalaupun ada upaya merajut silaturrahmi dengan islah, tak lebih sekedar mempertegas sudut pandang demi memperkokoh posisi diri dan kelompok. Bahasa lainya, hanya sebagai pemoles bibir agar bicaranya indah didengar jamaah. dalil-dalil yang disampaikan di atas mimbar hanya untuk mendukung “Jiwa aku”(meminjam istilah dalam lagu perjuangan Hamzanwadi “intisari wasiat”). Akibatnya penghargaan masyarakatpun terhadap tokoh/elit organisasi menjadi menurun.
Begitulah gambaran umum realitas social masyarakat khususnya bangsa sasak saat pertama TGB turun ke masyarakat. Saat harapan itu hampir punah. Hadirlah TGB dengan warna berbeda dari tokoh-tokoh lainnya. TGB mulai berdakwah dengan menekankan pentingnya merawat silaturahmi dan persatuan.
TGB Berupaya keras merajut silaturrahmi keluarga besar zurriat dan semua murid-murid niniknya sebagaimana amanah agama, Negara dan wasiat niniknya.
Sebagai cucu ulama kharismatik dan pahlawan nasional, TGB mewarisi kharisma dan keilmuan kakeknya. Sopan-santun dan kearifan dalam bertindak dan bertutur. Dakwahnya yg cool, materi dakwah yg kaya literasi, keihlasannya merajut silaturahmi yg terkoyak. begitu berkesan dan mudah berterima ditengah masyarakat. Sehingga dalam waktu yang relative singkat kota santri Pancor kembali menjadi pusat santriwan dan santriwati dibawah setelah sempat sepi sebagai akibat gejolak social dan politik internal.
Kesuksesan TGB mengkonsolidasi masyarakatnya melalui mimbar dakwah menarik perhatian politisi tanah air. Pakar hukum tata Negara Prof. Dr. Yusril Eza Mahendra sekaligus pendiri Partai Bulan Bintang, mendorong TGB maju dalam pemilihan legislative tahun 2004. Beliaupun berhasil menjadi anggota legislative perode 2004-2009 dari partai PBB Asuhan Prof Yusril.
Menyaksikan pengaruh TGB yang semakin kuat, banyak tokoh politik menawarkan TGB maju sebagai calon gubernur di NTB. Setelah mempertimbangkan maslahat dan mafsadatnya beliaupun menerima dan resmi menjadi calon gubernur perode 2008 yang diusung PBB dan PKS. Luar biasanya TGB. Berhasil mengalahkan petahana Lalu Serinate yang didukung oleh mayoritas partai-partai besar seperti golkar dan PDI perjuangan dan lain-lain. TGB dilantik menjadi gubernur perode 2008-2013. Dan mencatatkan namanya di rekor MURI sebagai gubernur termuda.
Setelah tiga tahun menjabat sebagai gubernur TGB berpindah dari PBB ke Partai Demokrat. Perpindahan ini memang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap suksesnya pembangunan di NTB. Pada perode berikutnya TGB kembali maju sebagai calon gubernur untuk melanjutkan program pemabangunan yang sedang on the track. Kali ini beliau diusung Partai barunya Demokrat dan beberapa partai besar lain seperti Golkar, PDI perjuangan, PPP, PAN, dan PKB. TGB kembali mendpat mandat masyarakat NTB dengan perolehan suara 44,37%. Angka tersebut cukup mengantarkan beliau kembali memimpin NTB untuk melanjutkan pembangunan periode 2013-2018.
Di masa ahir jabatan Pada 23 Juli 2018 TGB memutuskan mengundurkan diri dari partai demokrat. Setelah dinilai membuat gejolak diinternal partai. imbas dukungannya terhadap Jokowi pada pemilu 2019 (Tribunnews.com). Dukungan TGB dinilai membuat kegaduhan internal sehingga beliau memutuskan mengundurkan diri dari Partai demokrat dan berlabuh ke partai Golkar. Setelah diparkir partai Golkar beberapa tahun, tanpa kejelasan masa depan politiknya, ahirnya tanggal 6 Agustus 2022 TGB resmi dilantik menjadi Ketua Harian Nasional DPP Partai perindo.
Kepindahan TGB dari Partai Golkar ke partai Perindo memantik pertanyaan public mengapa TGB ke Partai perindo tidak ke partai yang lain? Mari kita analisis prilaku politik TGB dalam dimensi nilai.
Analisis Prilaku Politik TGB dari Dimensi Nilai
Bagi sebagian kalangan, pindahnya politisi yang berkualifikasi ulama (TGB) dari satu partai ke partai lainnya dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Sebab politik tdk mengenal hukum “kekelan partai”. Partai politik hanya kendaraan mewujudkan cita-cita politik. Partai politik seumpama HandPhone (HP), pesawat, mobil atau alat transfortasi lainnya hanya sebagai sarana mewujudkan cita-cita politik. nilainya tergantung aspek pemanfaatannya (nilai teleologis).
Sama seperti konsep Negara kesatuan Republik Indonesia. Sistem negara kita bukan produk agama tertentu. akan tetapi spirit dan basis nilai dalam negara bersumber dari agama, kepercayaan dan kearifan di nusantara.
Partai politik apapun basis idiologinya, nasionalis, agama atau lainnya tetap harus tunduk pada Konstitusi negara. Dimana Indonesia menjamin hak azasi setiap warga negara untuk menjalankan agama menurut agama dan kepercayaannya. Sehingga semua umat beragama harus tunduk pada negara dlm menjalankan agamanya. Umat agama apapun di tidak boleh mendiskreditkan agama lain dengan dalih menjalankan agamanya. Itulah perintah Agama yg ditegakkan oleh negara. Jadi Negara hanya memastikan, jangan sampai praktek keberagamaan yang dilakukan mendegradasi persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab persatuan asset terbesar bangsa dan nilai agama dan kearifan bangsa merupakan ruh Negara. jika praktek keberagamaan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, Negara akan menjadi lemah. Jika Negara lemah tidak akan bisa melindungi hak-hak mendasar umat untuk beragama. Itulah sebagian argumentasi kalangan yg tdk mempersoalkan prilaku politik pindah dari satu partai ke partai lain.
Namun bagi sebagian masyarakat ada juga yg mempertanyakan keputusan TGB yang loncat dari satu partai ke partai lainnya. Dan berasumsi TGB sebagai politisi yang oportunis dan tidak berkarakter. Apalagi setelah TGB pindah ke Partai Perindo. ada yang mempertanyakan TGB itu politisi yang berkualifikasi Ulama mengapa beliau pindah ke partai Perindo? Mengapa tdk pindah ke partai islam??
Mari kita analisis secara objektif.
Pada dasarnya segala hal dalam kehidupan punya hikmah atau nilai yg bisa digali dan dijadikan pelajaran. Sepak terjang TGB didunia dakwah dan Prilaku politik TGB merupakan dua variabel yg bisa menjadi pokus perhatian. Refleksi iman yang mewujud dalam tindak tutur beliau mengisi expektasi public. Gaya dakwah yang membumi dengan cultur dan bahasa bangsa sasak menunjukkan TGB sosok yang paham betul konstituennya isi ceramahnya seolah menjawab semua pertanyaan public yang belum terungkap. Dan yang paling penting cara menyampaikannya sangat sederhana. Sehingga masyarakat mudah menerima pesan dakwah yang disampaikan.
Umumnya ilmuan akan menganalisa dua variabel di atas dalam perspektif “sosiologi agama”. Karena sepak terjang dakwah dan prilaku politik TGB relevan dengan analisis Berger(1961) yg menyebut: salah satu ciri peradaban modern tercermin dalam refleksi-refleksi teologis dan terlembaga. Refleksi atas iman yg terjelma pada teologi-teologi formal berfungsi sebagai ideologi. Dalam hal ini, Berger menyebut, sosiologi agama menunjukkan bagaimana teologi sebagai idiologi dianggap sebagai alat legitimasi kekuasaan politik yg dibangun untuk menertibkan kehidupan publik.
Menurut hemat saya tinjauan teoritis di atas tdk kontekstual dengan setting social maupun sosio-cultural masyarakat TGB. Penomena sosialnya mungkin bisa diurai dengan teori di atas namun refleksi iman yg dipraktikkan TGB berbeda dengan yang dipahami Berger. Karena masyarakat Indonesia secara umum tidak berdiri di atas sekulerisme seperti yg dipahami barat. Refleksi iman TGB merupakan wujud nilai yg lahir dari semangat keberagamaan dan kebangsaan satu tarikan nafas. Jadi berbeda dg sekulerisme.
Benar Indonesia bukan Negara agama tapi nilai-nilai yang terdapat dalam konstitusi negara merupakan menifestasi dari nilai spritulitas dan kearifan budaya nusantara.
Jadi, Penomena pola prilaku politik TGB yang loncat dari satu partai kepartai lain harus dipahami secara proporsional. Manusia hidup didalam lingkungan yang terus menerus mengalami perubahan. baik perubahan yang terjadi secara alami, ataupun perubahan yang terjadi by design. Jika mengacu pada tulisan pakar pendidikan Nilai Prof.Sanusi (2017) menyebut ada 5 tahapan dan tingkatan perubahan prilaku. (1) bertahan hidup dengan dasar “berbuat apa saja yang bisa lakukan secara alamiah demi bisa bertahan hidup”. (2) memelihara system kehidupan yang bersifat magik-animistik. (3) hidup dan kehidupan yang berarti dengan berencan, (4) kehidupan bermasyarakat yang lebih maju, yang memerlukan keterampilan/keahlian, hubungan saling pengertian dan kerjasama. (5) system kehidupan masyarakat, organisasi swasta dan Negara tumbuh makin kompleks, memegang peran dan tanggung jawab makin bervariasi makin besar dan berubah-ubah. Disetiap tingkat/tahapan perubahan memiliki rujukan system nilai bervariasi dan berkembang sejalan dengan kepentingan, kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai.
Memperhatikan tahapan prilaku menurut pakar Nilai di atas, perubahan prilaku politik TGB berada ditahap 4 dan 5. Dimana perubahan prilaku guna mendorong kehidupan masyarkat yang lebih maju, yang memerlukan keterampilan/keahlian, hubungan saling pengertian, kerjasama dan perubahan prilaku itu juga karena system kehidupan masyarakat, organisasi swasta dan Negara tumbuh makin kompleks sehingga peran tanggung jawab makin bervariasi, makin besar dan berubah-ubah.
Secara teori ada 2 rujukan yang relevan dengan prilaku TGB yaitu: nilai teologis, dan nilai teleologis. Nilai teologis sebuah system nilai yang mengaju dari ajaran agama/ibadah. Sedang teleologis merupakan sebuah system nilai yang mengacu pada aspek kebermanfaatan.
System nilai teologis yang dirujuk TGB dapat dilihat dari perspektif beliau ketika ditanya tentang islam dan politik. Dalam salah satu wawancara dichanel youtube HS, TGB menjelaskan bahwa politik itu berada di ranah muamalah dimana didalamnya tempat memperjuangkan dan mengamalkan nilai. Oleh karenanya TGB menceritakan ketika dahulu Nabi membangun pasar dimadinah, nabi tidak menamakan pasar tersebut sebagai pasar islam tapi yang ditekankan adalah tidak ada “gharar” (manipulasi) sehingga partai apapun kalau membawa nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kesetaraan, nilai tidak mengekploitasi orang lain. Maka Partai tersebut islami meskipun tidak mempersonifikasi dirinya sebagai partai Islam.
Sebaliknya ada Partai yang mempersonifikasi dirinya sebagai partai Islam tapi cara-cara berpolitiknya tidak mencerminkan nilai-nilai islmi, apalagi mengkebiri tatanan nilai islam yang bersifat universal tidak bisa merepresentasikan partai islami.
Jadi apapun basis idiologi partai dan bagaimanapun partai mempersonifikasi dirinya tidak menjadi soal. Yg penting pelaku politik dlm partai tersebut mengerti tatanan nilai yg diperjuangkan, cita-cita politik umat akan lbh mudah diwujudkan.
System nilai kedua yang dirujuk TGB nilai teleologis. Asumsi awal saya ketika mendengar berita TGB masuk partai Perindo pertimbangan utamanya pasti aspek dakwah. Dan ternyata benar dalam wawancara yg sama dg di atas TGB menyebut: punya visi besar untuk membumikan wasatiatul islam (moderasi beragama) di Nusantara.
TGB menerima tawaran dari Haritano sudibyo untuk nakhodai perindo karena adanya Trust dan ada ruang yg cukup untuk mengekskusi gagasan nya. TGB seorang politisi lama dan senior kebutuhan nya di partai bukan sekedar mencari kredensial formal jabatan tinggi tapi tdk ada kewenangan. Beliau butuh ruang yg cukup untuk mengekskusi gagasan-gagasanya. TGB punya pengalaman bagaimana dakwah struktural memberi pengaruh besar pada transfomasi masyarakat. Tanpa mengabaikan pentingnya dakwah kultural. Menurutnya jika dakwah melalui struktural dan kultural di sinergikan tentu akan lbh efektif mentransformasi masyarakat.
Ketika dipartai Perindo diberikan ruang untuk mengeksekusi pikiran-pikiran dan memperjuangkan gagasan itu tentu peluang itu akan diambil. Jadi rujukan nilai berpindahnya TGB dari Golkar ke partai perindo demi syiar dakwah membumikan nilai-nilai moderasi beragama.
Ahirnya dapat dipahami secara karakter yg tunjukkan dalam prilaku politik TGB memiliki rujukan nilai yg kuat. Jika merujuk pada apa yg dikatakan Lickona (1992) karakter yg baik terdiri atas mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai dan menginginkan kebaikan (loving or desiring the good) dan terahir melakukan kebaikan (acting thegood).
Menurut hemat saya pendidikan karakter yg efektif melibatkan tiga aspek di atas. Dan TGB mengetahui kebaikan itu secara utuh terlihat dari basis nilai yg menjadi rujukan prilakunya. Dan beliau juga mencintai dan menginginkan kebaikan tercermin inisiatif/ijtihat beliau yg terus berusaha menghadirkan kebaikan disetiap kehidupan berbangsa, dan terahir melakukan kebaikan itu. , tgb bukan hanya mengetahui, mencintai kebaikan tapi memberi model cara melakukan kebaikan itu yaitu arif menempatkan sesuatu. Menurut pakar pendidikan nilai kearifan itu puncak Intekektualitas.
Mari membangun trust sesama anak bangsa letakkan politik dengan instrumennya sesuai proporsi nya dan jadikan agama sebagai ruh membangun bangsa dan negara.