Oleh: Pencita Maulana
Kader-kader NW yang lahir tahun 90-an akhir adalah generasi yang paling malang menerima takdir sejarahnya. Bagaimana tidak, mereka “ter(di)paksa” tumbuh dan dibesarkan dalam iklim keterbelahan dan arus kebencian meluap-luap satu sama lain. Mereka tak salah, mereka tak punya dosa sejarah, namun mereka tak kuasa menolak berdri di antara dua kotak itu: Anjani atau Pancor. Sungguh na’as. Dapat dipastikan bahwa pilihan mereka untuk berada di salah satu kubu bukanlah pilihan yang otonom. Karena sangat bergantung pada pilihan afiliasi orangtua mereka. Barangkali inilah yang disebut sebagai determinisme historis; keterjebakan dalam situasi historis yang tak bisa dihindarkan sama sekali
Anak-anak muda itu adalah mereka yang tidak tahu apa-apa, namun kelak mereka bertumbuh menjadi pribadi-pribadi yang harus membela yang satu dan membenci yang lain. Meyanjung yang satu dan merundung yang lain. Melegalkan yang satu dan meng-ilegalkan yang lain. Ironis, memang. Tapi itulah kenyataan. Apa hendak dikata, nasib memang sedang sial dan malang.
Di saat anak-anak muda Ormas Islam lain sibuk menjalani sistem kaderisasi yang solid, dan dipersiapakan melanjutkan estafet organisasi di masa depan, kita malah masih berkutat dan terus-terusan sibuk mewariskan klaim, kebencian, dan sikap saling tuding yang tak berkesudahan. Apa yang kita harapkan dari kondisi semacam ini? Tentu saja jawabannya:” kelompokku yang paling benar, kelompokku yang paling berhak, dan kelompokku yang paling sah”. Dengan segala sumpah serapah yang kita lontarkan, kita tidak sadar seperti sedang membuka kotak pandora ormas sendiri. Anda tahu kotak pandora? Sebuah kotak dalam mitologi Yunani yang di dalamnya berisi aneka kebobrokan dan hal-hal buruk. Lalu hari ini kita dengan enteng memamerkan itu semua ke muka publik. Sungguh menyedihkan dan memalukan.
Sampai kapan kita akan terus merawat cara berfikir binari (oposisi)? jika generasi muda “dipaksa” terus hidup dalam bayang-bayang kelam, maka kita akan tiba di masa depan yang suram. Sejarah itu memang penting, tapi generasi muda tak perlu diseret-seret jauh masuk ke dalam lubang sejarah “hitam” . Karena mereka adalah pewaris masa depan. Biarlah para tetua dan elit yang punya tugas “membersihkan” sejarah itu. Dan mereka-lah yang punya tugas menghapus trauma dan luka. Sebab mereka adalah orang-orang yang pernah terlibat dan menyaksikan liku-liku dalam sejarah. Lagi-lagi, ini tugas para jejaring lingkar A1 di kedua belah kubu. Komitmen mereka sedang diuji. Apakah mereka bersungguh-sungguh untuk mau berdamai dan bersatu. Ingat, bahwa berdamai tak mesti harus bersatu, tapi bisa jalan bersama dan bersinergi. Pun jika ingin bersatu maka itu akan menjadi lebih baik untuk mengokohkan barisan ke masa depan. Untuk menyonsong kebangkitan kedua Nahdlatul Wathan.
Jika kedua belah pihak punya niatan baik, tentu saja proses perdamaian itu tak perlu menginjak yang satu dan menjunjung setinggi langit yang lain. Ini jelas keliru, dan menjukkan egoisme dan dominasi sepihak. Berdamai adalah soal seni saling memaafkan dalam kesetaraan, dan maaf itu menujukkan penegasan telah adan salah dan khilaf di masa lalu yang jauh. Sekali lagi, tentu saja masih ada luka dan trauma mengendap, tetapi perdamaian selalu menghadirkan sebuah harapan. Dari harapan baru itu, kita bisa memulai langkah bersama menuju cita-cita masa depan. Entah dengan cara berangkulan atau sekadar bergandengan tangan. Itu bergantung pada komitmen kedua kubu dan jajaran elitnya.
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Manusia datang dan pergi, nahkoda akan silih berganti. Itu sudah pasti dan seleksi alam yang pasti terjadi. Maka tugas berat merawat NW ke masa depan adalah kaderisasi dan regenerasi. Sebab tak ada kuasa yang abadi. Tak ada pemimpin yang kekal. Oleh karenanya, kita harus mampu mengubah fokus, yakni menata masa depan yang lebih sehat dan akrab. Tingalkan dendam kesumat, padampkan api permusuhan menjilat-jilat. Mari kita semua menjadi di “air” di tengah musim “kebakaran” di tubuh Nahdaltul wathan.
Mari kita belajar dari ormas dan sebuah perkumpulan yang gagal melakukan kaderisasi, maka ormasnya akan punah ditelan zaman. Akan remuk digilas perubahan sosial. Akan berkeping-keping dihantam badai persaingan global. Akan takluk oleh kelompok-kelompok yang mapan. Jika pun ormas itu masih mampu eksis, namun tampak layu seperti hidup enggan, pun mati tak mau. Mari kita sadar bahwa sudah banyak anak-anak muda NW yang memilih “hijrah” ke ormas-ormas lain. Mereka butuh tempat yang nyaman untuk berkembang, mereka butuh tempat yang teduh untuk menempa wawasan, dan mereka butuh kana-kanal strategis untuk melakukan lompatan-lompatan pemikiran, gagasan, dan karir. Lalu apa yang kita persiapkan bagi mereka, inilah yang harus dipikirkan bersama.
Gambaran ini barangkali terlalu dramatis, namun yang pasti ini adalah perkerjaan rumah bagi jama’ah Nahdlatul Wathan, terutama para elit di pimpinan struktural. Apakah kita siap melunasi hutang janji kita pada Maulana Syaikh yang telah kita ikrarkan dalam bai’at-baiat itu. Apakah kita siap melepas ego golongan menuju kepentingan bersama yang lebih luas dan jangka panjang. Untuk sebuah cita-cita besar, kita mesti menata langka bersama, dan terus berbenah merawat warisan Maulana itu, yakni NW yang kita cintai sepenuh hati. Kini kuncinya adalah kelapangan di antara kita (kedua kubu), jika masih saja keras hati dan ego yang dipertahankan, jangan harap ada “islah” dan perdamaian. Sebab cara pandang yang selalu mencari kambing hitam, hanya akan merawat dendam kesumat dalam lamat-lamat hasrat kuasa yang tak berkesudahan. Jika ada salah dan khilaf di masa lalu, kenapa kita tak segera saling memaafkan. Islam tidak mengenal konsep dosa warisan. Tugas kita sebagai generasi adalah menyulam yang terkoyak di masa silam, dan lalu merajut yang terserak demi masa depan yang menjelang. Sekian!