Oleh: Ustadz Zeyn Ruslan (Putra TGH. Ruslan)
Kaum Arab Jahiliyah terkenal dengan kepiawaian merangkai syair. Dahulu di Makkah, tiap tahun digelar perhelatan akbar dan super bergengsi di Pasar Ukaz untuk menampilkan karya-karya syair terbaru. Semua jiwa berkumpul, mata terbelalak, jantung berdebar, emosi terseret mendengar syair nan indah yang dipresentasikan oleh satu per satu pujangga berkelas. Syair terbaik dipilih untuk digantung di pintu Ka’bah, yang disebut “mu’allaqot”. Manuskrip mu’allaqot hingga kini terus diteliti dan dianalisa secara mendalam, bahkan di dunia akademis Barat.
Tahukah anda? Tersimpan cerita menarik di balik keahlian para penyair jenius itu. Ternyata mereka memiliki sanggar seni khusus tempat melahirkan karya besar.
Beberapa kilo dari pusat kota Makkah, terdapat Lembah misterius bernama Lembah Abqar (Wādi Abqar). Para pujangga Arab kerap turun ke Lembah ini dan berdiam berhari-hari disana, seolah bersemedi. Dari sana mereka membawa pulang karya-karya baru setelah didikte oleh Jin. Beberapa penyair handal yang masyhur seperti Imru’u Al-Qais dengan mentor jin bernama Lafizh bin Lahizh, Ubaid bin Abrash dengan mentor Hubaid bin Saladim merupakan alumni sanggar seni ini.
Cerita mistis Lembah Abqar tersebar seantero Arab. Setiap melihat kemunculan orang jenius dengan pemikiran cerdik, masyarakat Arab menyebutnya “Fulan Abqariy” (artinya: Si Fulan itu pasti baru pulang belajar dari Jin di Lembah Abqar). Mereka menganggap setiap orang cerdas adalah murid dari Jin. Kuat dugaan inilah asal pengadopsian kata Genius (“Jin”-ius) dalam Bahasa Inggris.
Terlepas dari banyaknya ilmuwan modern membantah kepercayaan ini sebagai mitologi belaka yang tak didukung literatur sejarah, belajar dan berkarya di tengah keheningan memang menyimpan sensasi tersendiri. Berapa banyak karya besar, ide-ide cemerlang, tokoh-tokoh handal terlahir dari sudut-sudut labirin ruang sepi.
Contoh terdekat, salah seorang guru kita Al-Mukarram TGH. Habib Thanthawi Hafizhohullāh. Seorang ulama sasak yang terkenal kealimannya dalam Fiqih, Nahwu dan ilmu keislaman lainnya. Siapa sangka dulu semasa periode awal belajar tak lebih dari seorang santri biasa-biasa saja. Selaku mahasantri angkatan pertama di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Pancor, ia tidak begitu menonjol di mata para guru.
Di kelasnya ada santri bernama Sadaruddin (Alm. TGH. Sadaruddin Suralaga) yang selalu menyabet rangking pertama di setiap ujian kenaikan kelas. Sadaruddin memang terkenal dengan ketekunan dan kecerdasan otak dalam menyerap pelajaran, sehingga menjadi murid kesayangan para masyaikh.
Tibalah masa wisuda penamatan. Acara ini diseting besar-besaran dan dihadiri oleh ribuan jama’ah Nahdlatul Wathan. Umumnya bertepatan dengan acara ini, diumumkan mahasiswa terbaik yang mendapatkan Indeks Prestasi tertinggi, yang selalu ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa dan wali murid dengan dada berdebar-debar.
Saat itu para hadirin sepertinya tidak ragu, yang berhak disebut namanya meraih juara satu tak lain wisudawan bernama Sadarudin. Karena kecerdasannya hampir tak tertandingi oleh semua kawan sekelasnya.
Tak dinyana, prediksi itu meleset ketika Ustadz pada nyatanya menyebut nama Sabruddin di peringkat kedua. Jantung hadirin seketika makin kencang berdegup, siapa yang bisa menggeser posisi puncak selama ini?.
“Peraih juara satu adalah… Jamil (Nama muda Alm. TGH. Habib Tantawi)…”
Nama yang tak pernah digadang-gadang menduduki posisi seprestisius itu.
Aliran air mata sama-sama mengalir deras dari dua mahasiswa yang bertengger di posisi teratas papan klasemen wisudawan dramatis itu. Sadaruddin kecewa pada dirinya sendiri. Sementara Jamil menangis haru, bahwa hasil ini memang tak mengkhianati usahanya.
Menurut kesaksian masyarakat Pancor yang meronda malam, Habib sering terlihat berjalan sendiri menyusuri keheningan malam menuju Lembah di ujung Timur Pancor. Disana ia menyalakan lentera dan asyik sendiri menikmati joy of the text kitab-kitab muqorror yang ia bawa. Dari uzlahnya itulah, ia keluar sebagai sosok baru yang jenius.
Di mata guru besarnya Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Majid, Habib adalah murid kesayangan karena paling lancar baca kitab. “Dulu setiap santri yang disuruh baca kitab selalu kena Bedil oleh Maulana Syaikh, ketika sampai giliran saya, beliau tak mengganti-gantikan ke muqri’ lain lagi.” Kenang beliau tahaddutsan bi an-ni’mah.
Bedil dalam bahasa Sasak berarti tembak. Kata “Baddil” juga biasa digunakan syaikh sebagai isyarat intruksi agar muqri diganti oleh yang di sebelahnya, baik karena sudah membaca banyak, atau bacaannya tidak layak.
Ia juga diangkat oleh santri-santri lain terutama yang lebih junior sebagai pemimpin mudzakarah. Sejak muda, ia sudah mengajarkan materi-materi berat dengan dihadiri murid berjibun. Hingga saatnya beliau mendirikan Pondok Pesantren Darul Habibi di Desa Bunut Baok, Praya, Lombok Tengah. Dengan bangunan cukup megah setelah menyulap lahan yang dulunya hutan belantara.